Bau alkohol sangat tajam menusuk hidung. Samar-samar kulihat Ibu tengah duduk dengan wajah khawatir di samping ranjang. Tanganku berusaha menggapainya dan ketika itu baru kusadari kalau tanganku terhubung dengan selang infus. Seorang perawat membantuku duduk dan menegakkan ranjang.
“Untuk sekarang perlu istirahat dan pantauan dari tim medis secara intensif,” ucap perawat itu pada ibuku. “Kalau kondisi Helena membaik, dokter akan mengijinkannya untuk rawat jalan. Sementara ini harus rawat inap dulu, ya, Bu.” Si perawat berbaju hijau itu kemudian pergi dan menghilang di balik tirai.
“Kamu sudah sadar, Hel?” tanya ibu.
“Bagaimana keadaan teman-temanku, Bu?” tanyaku penasaran. Hal terakhir yang kuingat adalah berlari meuju tenda. Aku tidak sempat melihat keadaan Corey.
“Sudah. Kamu istirahat aja. Teman-temanmu pasti baik-baik saja.” Ibu berdiri kemudian menyambar tas coklatnya yang ada di nakas. “Ibu mau pulang dulu ngambil baju ganti. Kamu gak apa-apa ditinggal?”
Aku hanya mengangguk meski seperti biasa, jawaban ibu selalu tidak bisa memuaskan rasa penasaranku. “Bu!” panggilku ketika ibu menggenggam gagang pintu. “Tidak ada yang meninggal, kan?” tanyaku ragu kalau-kalau ibu tidak akan menjawabnya dengan jawaban yang tepat.
Ibu menggeleng. “Semua temanmu ada di rumah sakit ini, Hel. Mereka semua selamat. Jangan khawatir,” ucap ibu kemudian membuka pintu dan menutupnya lagi, meninggalkan aku sendiri di ruang rawat yang cukup besar ini.
Meskipun ibu bilang mereka baik-baik saja, tetapi aku masih gelisah. Benarkah itu? Billy dan Tya memang terlihat baik-baik saja terakhir aku melihatnya. Meski keadaan mereka terlihat lusuh setidaknya mereka masih mampu berjalan tegak.
Pikiran-pikiranku terus bermunculan dan mencegahku untuk tidur. Padahal tubuhku sangat capek dan sangat ingin tidur. Kumiringkan badan melihat tetes demi tetes cairan NaCl itu jatuh dan mengisi selang. Ritmenya cukup cepat. Kemudian terdengar suara pintu terbuka. Kubalikkan tubuh dan melihat Billy dan Tya menghampiri.
“Apa yang terjadi?” tanyaku sebelum mereka membuka mulut duluan.
“Lu pingsan. Kami terpaksa menekan tombol darurat dan bantuan pun datang,” jelas Tya yang langsung duduk di sofa tempat tadi ibuku duduk. Billy menyusul Tya dan ikut duduk memenuhi sofa.
“Kita berempat gak lulus, Hel. Sorry, ya,” Billy menunduk lesu.
“Harusnya gue kali yang minta maaf,” ucapku. “Kalau gue ga telat masuk gerbang, kita pasti gak akan terpisah. Dan Corey….” Suaraku tercekat. Genangan air mata hampir tidak bisa kubendung. “Dia gak bakal jatuh ke jurang gegara gue.” Akhirnya aku terisak, tanganku sibuk menghapus mata yang banjir.
“Jurang?” ujar Billy. “Corey bilang dia hanyut di sungai,” katanya lagi heran.
“Ssst, udah… udah…!” Tya menepuk bahuku pelan. “Ini kecelakaan. Ga ada yang tahu kalau akhirnya akan seperti ini.”
“Corey gimana?” kutatap Tya yang diam saja dan malah menatap Billy yang juga menatap balik Tya. “Dia gimana, Bill, Ty?”
Kedua cowok itu tetap saling pandang beberapa saat hingga akhirnya Tya mengembuskan napas panjang. “Dia masih belum sadar. Tapi masa krisisnya udah lewat. Lu tenang aja, Hel. Fokus sama kesembuhan lu. Corey dirawat oleh profesional, kok.”
“Tya bener, Hel. Yang penting sekarang lu sembuh dulu aja,” timpal Billy.
“Seberapa parah Corey?” Kutatap mata Billy tapi cowok gendut itu menunduk. “Tolong bilang dia kenapa, Ty! Ga mungkin orang jatuh dari jurang baik-baik aja!!!” cecarku menatap Tya.