Akhirnya aku datang ke pesta Alisya bareng Chester. Sharon bilang ada acara keluarga jadi ga bisa datang. Malam pesta, halaman belakang rumah Alisya dihias penuh lampu-lampu bohlam yang melintang di udara. Musik pop nge-beat mengalun, dan tamu-tamu memenuhi area, dari anak OSIS sampai geng futsal.
Chester ternyata emang populer—setiap kita lewat, ada aja yang nyapa, tos, atau manggil namanya. Aku yang biasanya santai malah jadi agak canggung. Tidak terbiasa dengan segala basa-basi dan ramah tamah dari orang banyak.
Gilda menyambut di pintu dengan gaun model sederhana tapi bergradasi ala mermaid. “Wih, pasangan kece dateng nih!"
Aku mau protes, tapi Chester cuma ketawa, “Thanks, Al,” sambil ngerangkul bahuku sebentar. Jelas ini bukan kedekatan antara teman dan semakin membuatku canggung. Kita enggak pacaran.
Di sudut halaman, Corey berdiri sambil nyender di pagar, minum soda kaleng. Pandangannya langsung nyantol ke Chester dan aku. Matanya menyipit, dan dia nggak lepasin tatapan itu bahkan pas Alisya nyamperin dia. Berasa jadi target.
Sepanjang pesta, Chester banyak cerita, bahkan ngajakin foto bareng di photobooth. Beberapa cewek lain melirik, jelas nggak suka—apalagi Chester itu salah satu cowok blasteran ganteng yang sering jadi bahan gosip. Semakin gak nyaman diriku.
Di satu titik, Corey nyelonong lewat dan sengaja nimbrung. “Eh, kalian seru banget. Lagi bahas apa?”
Chester nyengir, “Rahasia, bro.”
Corey cuma melirikku, senyumnya tipis, tapi matanya dingin. Membuatku merinding. Kejahilan macam apa lagi yag dia rencanakan?
Suasana jadi agak aneh. Aku sadar, Corey nggak pernah kayak gini sebelumnya—dan Chester seolah sengaja nggak mau mundur.
Puncaknya, saat lagu slow mulai diputar, Chester mengajakku ke area dansa. Aku masih ragu, tapi akhirnya ngikut. Dari jauh, Corey keliatan kayak mau meledak. Dia ngebuang kaleng sodanya ke tempat sampah sambil jalan keluar dari pesta.
Kemudian sudut mataku melihat Corey pergi. Tiba-tiba rasanya sesak—padahal ini kan harusnya malam yang seru. Berasa jadi Cinderella sih harusnya. Tapi Cinderella ini hampa.
Aku tidak tahu apa yang sedang otakku pikirkan tapi sekarang kakiku melangkah nyusul Corey keluar dari halaman pesta setelah susah payah menjauhi Chester. Suara musik dari dalam rumah Alisya makin mengecil, diganti dinginnya udara malam.
“Core! Tunggu dulu….”
Corey berhenti tapi nggak noleh. “Apa? Mau tanya gosip lagi?” Jelas banget kalau dia marah.
Tanpa sadar aku menggigit bibir, “Gue cuma mau tahu lu beneran paca—”
“Enggak! Jawabannya tetep nggak. Gue sama Miss Molly nggak pacaran. Lu lebih percaya omongan orang lain, ya?” ucap Corey kecewa. Dadaku rasanya nyut-nyutan.
“Tapi gue lihat--”
“Udah, Hel. Gue gak pernah keberatan lu jalan sama Chester kayak gini padahal lu udah punya pacar. Jadi, jangan urusin sama siapa gue nge-date,” kata Corey sedingin es batu.
Tapi aku melihat sendiri perlakuan Miss Molly ke cowok ini. Dan pacar mana yang dia maksud? Aku masih menatapnya, tapi keraguan di kepalaku belum hilang. Sebagaimana pun Corey bilang enggak, tapi kenyataan yang kulihat tidak seperti itu. Mereka jelas punya hubungan. Tapi kenapa juga aku peduli?