SINTAS

Keita Puspa
Chapter #16

13.0. KENA MENTAL

Aku terus berlari sekuat tenaga, tapi tanah licin kena lumut. Kakiku terpeleset, tubuh meluncur ke bawah lereng dangkal, jatuh keras ke dalam parit sedalam dua meter. Kayaknya segitu perkiraanku. Aku mengerang kesakitan, pinggang nyut-nyutan, kepala masih agak goyang.

Macan itu nggak berhenti—ia turun perlahan melihatku udah gak bergerak. Kakinya mencakar tanah, siap menerjang diriku yang udah terpojok. Kututup mata, pasrah. Rasanya aku udah gak mungkin bisa lari dari kucing besar ini. Mungkin ini udah waktunya. Air mataku yang menggenang pelan-pelan jatuh.

Tapi tiba-tiba…

WUSSHHH!

Api menyala terang dari atas tebing, dilempar kayak obor. Macan itu langsung terhenti, mendesis, lalu mundur pelan dengan geraman sebelum akhirnya lari ke balik pepohonan.

Tubuhku masih gemetar, bingung. Aku selamat? Apa yang barusan terjadi? Pas mendongak, kulihat Corey berdiri di atas, rambutnya awut-awutan, matanya tajam tapi penuh amarah. Tangan kanannya masih memegangi ranting terbakar.

Corey teriak dengan nada setengah kesel, setengah lega, “Lu tuh… kalo nggak ada gue, udah abis berkali-kali. Ternyata emang harus gue yang ngasuh lu, Hel!”

Aku terdiam, mataku berkaca-kaca. Antara lega, malu, dan jantung yang berdegup gila-gilaan karena baru aja lepas dari maut.

Corey nurunin diri ke parit, ngulurin tangan. Meski masih gemetar, tapi langsung kusambar tangan itu. Corey narik kuat-kuat sampai aku bisa naik. Begitu sampai di atas, tubuhku refleks meluk Corey erat-erat, badan masih gemetar hebat. Rasanya campur aduk dan aku ga bisa mengontrol diri.

“Makasih, Core! Gue… gue kira bakal mati tadi,” kataku masih terengah-engah dan belum sadar kalo masih nemplok sama si pembunuh t-rex.

Corey sempat bengong sebentar, tapi alih-alih lembut, bibirnya nyeletuk ketus, “Lu mah… sama cowok mana pun nempel mulu. Tadi gue liat lu nempel sama Chester, sekarang giliran gue.”

Tubuhku langsung kaku. Tidak siap merasakan cabe dari mulut cowok ini. Pelukan kulepas, wajahku panas, antara marah dan malu. Kudorong Corey keras sampai cowok itu hampir jatuh mundur. Rasa terima kasih yang besar itu menguap terbakar omongan Corey. Tapi mataku yang semakin panas akhirnya luruh juga. “Lu pikir gue murahan, hah?!” suaraku pecah. Untuk pertama kalinya aku gak peduli kalau ada yang melihatku menangis. Corey udah kelewat batas!

Aku pengen nangis kejer. Tuhan ngirimin malaikat penyelamat nyawa tapi nyinyir abis. Tangisanku yang pelan lama-lama jadi kenceng. Aku beneran gak tahan.

Namun, Corey langsung terdiam. Matanya sedikit melembut, kayak nyadar kebablasan, tapi aku udah keburu balik badan, nunduk dalam. Kuhapus air mata di pipi dan berusaha mengatur napas biar enggak sesenggukan lagi.

Tak lama, Chester dan Joel muncul dari kabut, ngos-ngosan. Begitu melihatku yang nangis, Chester langsung mendekat, panik. “Helen! Eh, lu kenapa? Lu kenapa nangis gini?!” Chester mengguncang bahuku.

Joel melirik Corey curiga. “Ada apa di sini?”

Aku cuma geleng cepat, suaraku serak, “Gue… gue baik-baik aja…. ” Tapi air mata nggak berhenti jatuh dan rengekanku muncul lagi. Sakit banget rasanya, lolos dari kematian tapi kena nyinyiran si pembunuh t-rex. Masih terlalu dini untukku bisa menata perasaan yang kayak naik wahana tornado Dufan. Tadinya takut setengah mati, kemudian lega dan bersyukur banget diselamatin Corey. Tapi si pembunuh t-rex yang pshyco itu malah menghantam mental. Aku tidak sanggup menghadapi ini, Tuhan…

“Jahat… banget!” ucapku sembari kembali sesenggukan. Ingin banget meluk seseorang biar tenang tapi hati ini takut kalo Corey bakal nyinyir leebih tajam lagi.

Chester langsung nunduk, berusaha menenangkanku, sementara Joel menatap tajam ke arah Corey yang cuma diam, rahangnya mengeras.

Lihat selengkapnya