Sinus Rhythm : You are my PQRST

Twyta Hakim Wening Kalbu
Chapter #2

Welcome to the (real) jungle #2

Akankah cintaku sebatas patok tenda, tenda terbongkar sayonara cinta

(Sebatas Patok Tenda)

“Aku berangkat yaa. Nggak tau pulang kapan”

Dling! Ponselku berbunyi. Kubuka sebuah pesan.

“Siap. Hati-hati, berkabar ya kalau pulang. Aku usahain ke kotamu secepatnya”

Rupanya Raihan yang mengirimkan pesan tersebut. Aku tersenyum samar, dan mengirimkan pesan balasan.

“Oke. Janji yaa!”

Raihan Putra, aku mengenalnya sejak SMA. Saat itu aku baru saja pindah dari sebuah kota besar di Jawa Barat ke rumah ku saat ini, di sebuah kota kecil yang tidak terlalu terkenal di Jawa Tengah. Aku memasuki salah satu SMA swasta yang cukup ternama di kota itu.

Aku belum terbiasa dengan bersekolah. Sejak SD, SMP, hingga kelas 10 SMA, aku mengikuti program home schooling yang tidak mengharuskan siswa untuk pergi ke sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, atau bahkan berorganisasi. Bagiku, ekstrakurikuler dan organisasi merupakan suatu hal yang baru.

Hari pertamaku masuk sekolah, aku dipertemukan oleh dua orang perempuan yang sampai saat ini masih menjadi sahabat dekat ku. Nabilah dan Kirana. Keduanya ada dalam satu ekstrakurikuler yang sama, yaitu PMR. Aku sangat tidak tahu apa perbedaan PMR dan Pramuka waktu itu. Nabilah dan Kirana membujukku untuk bergabung di ekstrakurikuler PMR. Aku menyetujuinya.

Aku mulai beradaptasi di lingkungan baru. Bersekolah itu seru juga, pikirku. Masuk sekolah pukul 06.50 lalu pulang pukul 14.50. Aku mengikuti pelatihan PMR setiap hari Selasa dan Kamis. Bagiku, pelatihan PMR cukup menyenangkan. Aku dilatih untuk melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan. Tidak hanya diajarkan teori, tetapi juga praktik dan simulasi yang diadakan setiap bulannya.

Aku tidak kesulitan dalam mengikuti kegiatan PMR. Dahulu, ayah sering mengajariku melakukan pertolongan pertama seperti, Resusitasi Jantung Paru (RJP), pembalutan dan pembidaian, bahkan ayah juga mengajariku hecting (menjahit luka). Ayah dan Mama memang seorang dokter. Ayah adalah dokter militer Spesialis Ortopedi. Sedangkan Mama dokter spesialis emergency medicine yang bekerja di sebuah rumah sakit.

Aku sangat menyukai kegiatan baruku meski aku jarang berbincang dengan teman-teman lain selain Nabilah dan Kirana. Aku tidak memperhatikan kegiatan apa yang dilaksanakan oleh ekstrakurikuler Pramuka.

“Eh Li, Nab, akhir pekan depan anak Pramuka mau ngadain kemah pelantikan. Nah, PMR diminta ikut kemahnya buat jadi divisi Pertolongan Pertama.” Celetuk Kirana tiba-tiba. Kirana memang berada di bidang Humas PMR, sehingga paham dengan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan bersama dengan ekstrakurikuler lain.

“Oh ya? Asik dong! Cowok-cowok di Pramuka ganteng-ganteng loh Li.” kata Nabilah bersemangat.

Aku hanya tersenyum menanggapi Nabilah, “Yee, cowok mulu pikiranmu Nab.” Kata Kirana bergurau.

“Berapa hari Ki kemahnya?” tanyaku kepada Kirana

“Tiga hari, Li. Pertemuan besok kita bakal ada rapat sama panitia dari Pramuka.” Kirana menjelaskan.

Hari pemberangkatan kemah pun tiba, kami berangkat setelah dilepas oleh kepala sekolah. Peserta dan panitia kemah mulai menaiki bus yang akan membawa kami ke lokasi bumi perkemahan. Perjalanan membutuhkan waktu 1,5 jam. Aku, Nabilah, dan Kirana duduk di kursi paling belakang. Sepanjang perjalanan, para peserta kemah bernyanyi bersama-sama.

“Rajin, terampil dan gembira

Senantiasa praja muda karana

Sopan dan tak kenal rasa sombong

Bersahaja, setia, suka menolong

Ya ya ya ya, itulah pramuka

Pramuka sejati

Sejati kata dan perilakunya

Ya ya ya ya, itulah pramuka

Pramuka sejati

Sejati kata dan perilakunya”

Aku melihat kearah jendela. Menikmati pemandangan hijau yang terdampar di depan mata. Sawah-sawah tersusun rapi bertingkat, terasering, agar tak mudah longsor. Sayur mayur yang ditanam tumbuh dengan subur. Sungguh pemandangan yang indah. Jarang sekali aku melihat pemandangan seperti ini.

“Ki, ini rundown untuk acara kemah yaa. Tolong dibagikan ke tim PMR.” Kata seseorang dengan suara bariton. Aku menoleh ke arah Kirana, di depannya seorang laki-laki dengan tinggi kira-kira 177 cm berdiri bersandar di kursi penumpang untuk menjaga keseimbangan, tangan kanannya menyerahkan tumpukkan kertas ke Kirana.

“Oh, Oke. Thanks ya.” Kata Kirana singkat.

“Oiya, nanti malam setelah semua acara selesai, Tim PMR ikut evaluasi sekalian briefing terakhir untuk acara Jelajah.” Kata lelaki bersuara bariton itu.

Kirana mengangguk paham, kemudian lelaki itu berjalan perlahan kedepan, kembali ketempat duduknya.

Lihat selengkapnya