“Sampaikanlah pada ibuku, aku pulang terlambat waktu ku akan menaklukan malam dengan jalan pikiranku (Gie – Erros ft. Okta)
Aku mengeluarkan elastic band dari tas ransel yang berisi peralatan medis. Salah satu pertolongan pertama untuk keseleo adalah meminimalisir pergerakan.
"Mungkin akan agak sakit. Tahan sebentar ya" kataku pada Raihan. Wajah Raihan mulai panik. Aku mulai membalut dengan elastic band di pergelangan kaki kanan Raihan. Aku sudah beberapa kali melakukannya dalam pelatihan PMR. Ayah juga sudah mengajariku caranya. Tak perlu waktu lama bagiku untuk melakukannya.
"Sekarang giliranmu." Aku berkata kepada Raihan
"Hah?"
"Gimana cara kita bisa balik ke perkemahan?" Aku menuntut Raihan. Bagaimanapun juga, dia yang membuatku berada ditempat ini.
Raihan terlihat berpikir keras. Aku terdiam, mengamati sekitar. Tempat ini sepi. Dingin. Berbahaya.
Aku takut.
"Li," aku menengok kearah Raihan.
"Aku nggak tau apa yang harus kita lakukan." Raihan berkata dengan nada bersalah.
"Kenapa gitu? Kamu kan anak pramuka. Harusnya udah ada ilmunya dong buat keluar dari hutan. Katanya kamu yang paling hafal jalur disini. Pokonya aku gamau ya disini sampe malem. Pokonya sebelum matahari tenggelam kita udah harus sampai ke perkemahan. Titik!" Aku menyerang Raihan dengan amarahku.
"Nggak cuma kamu yang pengin keluar dari sini. Aku juga! Gasuah marah-marah. Gausah egois!" Raihan ganti membentakku.
Aku menatap Raihan dalam-dalam. Mataku terasa panas, perlahan air mata turun dipipiku. Aku tidak pernah dibentak oleh siapapun sebelumnya. Ini kali pertama. Oleh seseorang yang baru kukenal semalam. Aku mengalihkan pandanganku ke sekitar. Menyembunyikan fakta bahwa aku sedang menangis ketakutan. Aku berjalan ke satu arah, menjauhi Raihan meski aku tak tahu kemana tujuanku.
"Hey, Li, mau kemana?" Teriak Raihan.
"Pulang!" Kataku kasar.
"Li, ini hutan, segala langkah yang kamu ambil harus dipikirkan matang-matang."
Aku tetap tak peduli. Raihan mengejarku dengan salah satu kaki yang terluka. Pergerakannya sangat terbatas.
"Gimana kalau ternyata arah yang kamu tuju bukanlah jalan pulang? Tapi malah semakin masuk ke hutan?" Kata Raihan yang berhasil menyusulku.
Deg. Iya juga. Benar kata Raihan. Aku menghentikan langkah ku. Raihan beralih posisi didepanku, menatap mataku.
"Duduklah dulu, Li. Kita susun strategi untuk secepatnya keluar dari sini.
. . .
Aku benci Raihan. Tapi disini hanya ada Raihan. Ah, sial! Sedari tadi Raihan mencatat kemungkinan arah yang kami tempuh. Harapannya, kami bisa menemukan jalan pulang. Beberapa kali Raihan menanyakan hal-hal seperti "berapa kali kita berbelok?" Atau "setelah belok ke kanan tadi kita belok kemana lagi?" Bahkan Raihan juga bertanya "Tadi kita belok berapa derajat?" Aku memiliki ingatan yang bagus tapi, untuk pertanyaan terakhir, aku tak mampu menjawabnya.
"Jam 15.30 Li. Di jadwal seharusnya sudah mulai apel sore. Mereka akan menyadari kalo kita tersesat dan kemungkinan 15.45 mereka bakal mulai pencarian." Raihan berkata dengan tenang. Entah dia memang benar-benar tenang atau hanya berusaha menenangkanku.
Raihan mengeluarkan kompasnya kemudian meletakkan ditanah mencoba untuk mengetahui arah kemudian menentukan arah mana yang akan dituju.
“Yuk Li, jalan.”
“Hah, kemana?”
“Pulang lah.” Raihan berusaha berdiri kemudian perlahan melangkahkan kakinya. Sayang, kaki kanannya benar-benar semakin parah. Melangkah sekali pun tak sanggup.
Raihan terduduk lagi memikirkan cara lain untuk keluar dari hutan ini. Dia melihat kertas yang dipegangnya. Kertas dengan coretan-coretan tangannya.
“Li..”
Aku menengok, melihat kearah Raihan. Raihan menarik napas dalam.
“Kamu mau kan keluar dari sini?”
“Iyalah.” Kataku sewot.
“Cuma ada satu cara Li. Kalau kita kerja sama.” Kata Raihan. Aku terdiam sejenak.
“Oke, gimana caranya?”
“Aku tunjukin arah. Kamu bantu aku jalan.”