Matahari menerpa lembut wajahku. Sudah hampir tiga jam aku menunggu teman-teman di tempat janjian—di pasar enam belas Ilir yang berada di pusat kota Palembang—tetapi belum tampak tanda-tanda mereka akan segera tiba. Tak jauh dari tempatku duduk, para pedagang terlihat sibuk menawarkan barang dagangannya jika ada orang lewat di depan lapaknya. Pembeli juga sudah banyak di dalam sana, membuat sesak area pasar.
Kurang lebih lima belas menit kemudian, teman-temanku datang. Aku mendengkus sebal. Mukaku pasti sudah jelek sekali saat ini karena kuat-kuat menahan emosi.
Aku bisa menebak apa yang membuat Bimo dan Lingga terlambat, pasti mereka mengamen terlebih dulu di suatu tempat sebelum menuju kemari.
“Halo, Qaf. Itu muka kenapa kusut banget. Baru bangun tidur ya?” Tanpa merasa bersalah, Bimo menyapaku.
Lingga di sampingnya menyikut pinggang Bimo. Bimo mengaduh. Mulutnya sudah terbuka hendak protes tetapi langsung dipelototi Lingga.
Karena Bimo dan Lingga sudah datang, tak mau menunda waktu lagi, aku bergegas melangkah ke Selatan dengan Lingga dan Bimo mengikuti dari belakang.
Tahu tujuanku hendak ke mana, Bimo bersuara. “Qaf, yakin mau ngamen di sana? Kemarin kita dapat sedikit, lho. Mending kita cari tempat lain aja.” Bimo yang berperan memainkan kencrengan menyuarakan protesnya.
“Ssst, diam! Mood Ahqaf lagi buruk. Harusnya kamu sudah tahu sejak tadi, Bim. Kan beberapa menit lalu sudah kuingatkan.” Lagi-lagi Lingga berusaha membungkam mulut Bimo dengan menegurnya.
“Kita coba saja dulu. Siapa tahu hari ini kita malah dapat banyak di sana. Siapa yang tahu kan?” ujarku, membuat teman-teman langsung terdiam. Walau sayup-sayup masih terdengar suara Bimo yang menyangkal ucapan Lingga.
“Tuh, dengar. Kamu sok tahu, sih. Padahal Ahqaf bersikap seperti biasanya, mood-nya pun terlihat baik-baik aja.”
Mendengar perdebatan mereka, aku tetap tidak nafsu sama sekali meladeni perdebatan sepele macam itu. Walaupun jujur saja, sebenarnya ketika tadi kesal menunggu mereka muncul, aku sudah berniat hendak memarahi mereka habis-habisan.
Siapa yang tidak kesal jika mendapati orang yang tidak bisa menepati janji? Dan kali ini keterlambatan mereka benar-benar keterlaluan. Janji mengamen pukul tujuh, tetapi mereka datang pukul sepuluh. Apa mereka kira menunggu itu tidak lelah?
Tapi, setelah memikir dan menimbang dari banyak sisi, memarahi mereka justru semakin buang-buang waktu. Maka dari itu, aku sekarang tetap berjalan menuju ke bawah jembatan Ampera—tempat speedboat menurunkan penumpang. Terserah mereka mau ikut atau tidak, aku tidak peduli.
Air sungai Musi yang kecokelatan seperti kopi susu bergelombang ketika speedboat datang dari arah Timur, membuat speedboat yang tertambat bergoyang-goyang mengikuti deburan ombak.
Dari jarak beberapa meter, tempat duduk untuk penumpang yang menunggu terisi penuh. Lapak jualan makanan dan minuman tampak berderet.
“Bimo, Lingga, kalian siap?” Aku bertanya kepada teman-teman.
“Siap dari tadi, Qaf. Malah sudah tidak sabar. Ayo, kita beraksi.” Bimo merespons semangat sekali.