Rasanya sepertiぐでたま. Gudetama, si telur yang enggan melakukan hal dengan sepenuh hati. Si telur yang bosan diperintah-perintah dan lebih senang tengkurap, menungging sebagai bentuk pemberontakan dan penolakan. Si melankolis berbentuk kuning, yang malas dan kerap menggumam: meh, aaahhh.
Bila malam tiba, ingin bersorak melihat shoji (Pintu khas rumah Jepang) kamarnya. Bau sarung bantal dan selimut adalah aroma ternikmat yang pernah dihirup. Sering kali bila terlampau lelah, Sofia tertidur masih mengenakan kaus kaki dan jilbab yang membalut kepala. Barulah dini hari saat ingin ke belakang karena hawa demikian dingin, dia membersihkan diri berikut sikat gigi dan menyelesaikan agenda yang seharusnya ditunaikan sebelum tidur.
Dering alarm pagi merupakan hukuman bagi kesenangan!
Andai waktu dapat ditunda dan dia dapat menelusup ke bawah lantai tatami (Tikar pandan yang biasa menjadi pelapis rumah di Jepang). Menimbun diri di balik tumpukan baju yang belum disetrika, menimbun diri di balik gulungan selimut, bermimpi bahwa natsuyasumi (Libur musim panas) sedang terjadi hari ini.
Sebetulnya, Paman tidak lagi seperti matsu (Kamera) yang kaku. Jarang mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Namun, perintahnya makin sering, makin kerap, makin beruntun.
“Ambilkan barang. Ada yang mau antar dan nitip di An Nour.”
“Jemput tamu di Bandara Fukuoka.”
“Belikan bibit bunga.”
“Jangan lama-lama di kampus. Kerjakan tugas sambil jaga toko.”
“Main ke Aso jangan keseringan. Mentang-mentang tiket pelajar dapat diskon. Ngapain jauh-jauh cari krim susu di kaki Gunung Aso?”
****
Kantin Joshi Daigaku (Universitas perempuan di Jepang), dihiasi meja putih dan kursi kuning cerah, tidak mampu memberikan energi positif. Dinding merah bata yang menjadi ciri khas kampus perempuan, bagai batas-batas penuh bisikan membawa pesan rahasia bak cerita di film horor.
“Aku merasa semester ini sebagian besar diriku hancur,” keluh Rei.
“Sama,” Umeko mengiakan.
Sofia yang menyusul tampak sama kusutnya.
“Aku tidak mengerti apa yang salah,” Rei masih kehilangan semangat. “Kuliah nursing, pelatihan keguruan, dan children care harusnya berjalan mudah.”
“Apakah kita sudah kehilangan sifat keperempuanan sehingga pelajaran perempuan terlihat sangat sulit?” Sofia melempar pertanyaan retorik.
“Kamu betul,” ujar Rei dan Umeko nyaris serempak.
“Dulu, ibu-ibu kita sangat rajin dan tahan banting,” Umeko menambahkan. “Mereka langsung belajar dari alam. Sekarang, kita kehilangan keahlian. Ah, ternyata jadi perempuan terampil sangat sulit.”
“Kita butuh liburan,” usul Rei.
“Setuju!” Sofia yang pertama kali mengiakan, sebelum yang lain sempat menghela napas.
Mereka memandang makan siang masing-masing tanpa selera. Bahkan, olahan telur Sofia yang biasanya paling mengundang selera, tidak dilirik oleh Rei dan Umeko.
“Aku sepertinya akan mengambil semester pendek,” Umeko terlihat ragu. “Tapi, aku tidak menolak kalau kalian memaksa.”
Sofia dan Rei tertawa.
“Tak seorang pun menolak liburan, Umeko!” Rei menggoda. “Ada usulan kita akan ke mana?”
“Aso?” Umeko menawarkan.
Sofia sontak lunglai.
Bukan dia tidak suka pemandangan gunung eksotis, kabut, dan pemandian air panas. Apalagi, hamparan peternakan sapi yang menyediakan susu terenak di dunia. Berikut es krim yang jelas-jelas lezat. Oishi (Enak)! Meccha umai (Sangat enak)! Tapi, ucapan Paman membuat semangatnya segera kendur. Entah mengapa, Paman melarangnya sering-sering ke Aso. Mungkin, usai perjalanan wisata ke sana, Sofia persis seperti si Kuning Telur Gudetama. Menungging tidur, malas seharian.
Menolak ajakan Umeko, tidak sopan rasanya. Untung, Jie Eun segera bergabung menyesuaikan percakapan.
“Ke mana kalian natsuyasumi kali ini?” tanyanya. Rei menggeleng.
Umeko mengangkat alis.
Sofia mengunyah perlahan telur scrambled yang dicampur beragam sayuran. Dia harus bersegera menyelesaikan makan siang bila tidak ingin kehilangan waktu shalat zuhur.
Jie Eun masih setia dengan makan siang yang membuatnya tidak berlemak: dada ayam, irisan timun, rebusan sejenis ubi. Entah mengapa, dia yang terlihat paling lahap menghabiskan makan siang.
“Aku sebenarnya ingin mengambil beberapa program. Kita ada pelatihan untuk menjadi guru pada musim panas,” Sofia menjelaskan. “Juga, relawan untuk Festival Hua Fu di departemen anak.”
Natsuyasumi atau musim panas adalah masa liburan panjang. Banyak mahasiswa memanfaatkan masa bahagia ini justru dengan mengambil pelatihan-pelatiha yang diselenggarakan kampus, atau diadakan oleh kakakkakak tingkat yang telah lulus untuk merekrut adik-adik tingkat menjadi karyawan di berbagai instansi kelak.
Masa ini juga masa paling tepat bagi para mahasiswa yang hidup di perantauan untuk bekerja arubaito (Kerja paruh waktu) atau paruh waktu. Karena liburan resmi, bahkan instansi pemerintah pun bersedia merekrut pegawai berstatus gakusei (Mahasiswa) atau mahasiswa. Mahasiswa asing sekalipun.
Jeda perkuliahan juga menjadi waktu paling tepat untuk mendapatkan relawan bagi kegiatan-kegiatan yang akan diselenggarakan begitu musim panas usai. Rata-rata, perkuliahan dimulai pada musim semi April, terpotong musim panas, aktif kembali pada musim gugur yang sering kali ditandai dengan banyaknya matsuri (Festival) atau festival. Festival-festival bukan hanya diselenggarakan di setiap prefektur yang memelihara cita rasa tradisional berusia ribuan tahun, tetapi juga di kampuskampus demi mengusung nilai-nilai unik yang ditawarkan civitas academica.
“Kamu ingin mendaftar sebagai relawan?” Rei mendelik.
“Kupikir, bekerja di belahan bumi mana pun masih lebih menarik daripada berada di toko bunga pamanku,” Sofia terkekeh.
“Hm, sepertinya aku mau arubaito di toko pamanmu,” Rei menggumam.
“Wah, itu bagus!” seru Sofia. “Percayalah, pamanku seperti malaikat bagi karyawannya. Dia hanya berbeda perlakuan terhadapku. Mungkin karena aku bandel.”
Rei dan Umeko tertawa.
“Tapi,” Sofia memandang makan siangnya yang mulai dingin, “memikirkan musim panas diisi dengan bekerja, training, menjadi relawan; rasanya aku lekas menua. Apakah tidak bisa kita liburan seutuhnya?”
Jie Eun yang sedari tadi hanya mengamati mulai angkat suara.
“Kalian tidak ingin ke Korea sesekali? Dekat, kan, dari sini?” Jie Eun bertanya ringan.
Ungkapan Jie Eun membuat ketiga temannya menghentikan aktivitas seketika. Ya. Mengapa tidak? Bukankah Korea hanya sedikit di atas Fukuoka? Pasti menyenangkan bisa melihat belahan lain dari dunia selain Joshi Daigaku, apartemen, dan toko bunga. Ups, pasti menyenangkan sejenak menjauh dari tekanan Paman.