귀요미, 귀요미
Gwiyomi, gwiyomi (Cutie, lucu, imut, cantik)
.....
Il deohagi ileun gwiyomi (Satu tambah satu (adalah) gwiyomi),
I (I, sam, sa, o, yuk: Dua, tiga, empat, lima, enam) deohagi ineun gwiyomi.
Sam deohagi sameun gwiyomi,
Sa deohagi saneun gwiyomi.
O deohagi oneun gwiyomi,
Yuk deohagi yugeun gwiyomi.
Di depan wastafel, di depan mesin cuci, saat menjemur baju, ketika menceplok telur, ketika mencuci piring.
Il. Satu. Telunjuk menuding pipi. I. Dua, telunjuk dan jari tengah membentuk telinga kelinci di atas kepala. Sam, tiga. Tiga jari di bawah dagu, bertopang dagu. Sa, empat jari menyangga dagu seperti pot. O, lima jari mengepal mengusap mata yang menangis. Yuk, enam jari dikecup bibir satu per satu.
“Kamu ngapain, sih? Kerja yang konsen! Jangan nyambi-nyambi. Nyanyi-nyanyi enggak jelas kayak gitu.”
“Ini gwiyomi, Om. Ki-yo-mi. Om coba ikutan, deh!”
“Enggak, ah! Serasa hilang kemaskulinan.”
“Lho, Bigbang aja ber-aegyo25 dan mereka tetap cowok, kok. Om harus nonton gimana G-Dragon, Taeyang, T.O. P, Daesung, dan Seungri bermain gwiyomi. Ini enggak membuat Om jadi feminin.”
“Emang ngapain kamu ber … apa, ki ... apa?”
“Ki-yo-mi.”
“Hm, yah. Itulah, pokoknya.”
“Untuk menghibur orang lain.”
“Hah, Om ngerasa geli lihat kamu kayak gitu!”
“Berarti, Om terhibur, kaaan?”
“Capek, deh, ngomong sama kamu!”
“Il deohagi ileun gwiyomi.”
“I deohagi ineun gwiyomi.”
“Gwiyomi, gwiyomi.”
“Sooop! Udah!”
Andai di Indonesia, Om Hanif pasti kena delik pelanggaran HAM, sewot Sofia. Dan, satu-satunya manusia di atas muka bumi yang memanggilnya dengan panggilan paling tidak beradab adalah Paman. Mama dan Tante memanggilnya Fia. Beberapa temannya memanggil Sofie. Tatsuo dan Nozomi, juga dosen dan teman-temannya memanggil dengan tambahan –san, Sofia-san.
Sop!
Seperti memanggil housekeeper alias asisten rumah tangga alias babu. Tapi, kata Paman, lebih sulit memanggil Sof daripada Sop. Terserahlah.
“Annyeonghasimnika (Selamat pagi atau apa kabar), Ahjussi (Paman) Hanif. Otteohke jinaesseoyo (Bagaimana kabar anda?)?”
Paman hanya meringis, “Aku harus jawab apa, Sop?”
“Kalau, ya, bilang ne (Ya), kalau enggak bilang aniyo (Tidak). Itu aku tadi nanya kabarnya Om. Kalau Om kabarnya baik, bilang jal jinaeyo (baik-baik saja). Om juga harus belajar Hangukeo. Kan, rekan kerja Om bisa jadi orang Korea juga. Kayak temanku, Jie Eun. Siapa tahu suatu saat aku kerja, atau dapat beasiswa, atau minimal jalan-jalan ke negeri sebelah.”
Paman tidak bereaksi. Sofia ingin memancing lagi.
“Yah, mana tahu aku dapat jodoh orang Korea. Cowok Korea cakep-cakep, euy.”
“Mereka harus banyak berdoa kalau dapat jodoh kayak kamu,” sahut Paman.
“Mm, menurutku cowok Korea romantis. Kata Om gimana?”
“Enggak usah aneh-aneh, deh! Belajar dulu.”
“Kalau suruh milih, enakan dapat suami orang Jepang atau orang Korea, ya, Om?” Sofia masih tergelitik terus untuk bertanya.
“Jangan nikah sama orang asing! Lebih enak kamu pilih pasangan orang Indonesia aja.”
Setiap kali bicara cinta, jodoh, pernikahan; Paman seolah menghindar. Atau, minimal mengalihkan pembicaraan.
Apakah Paman menyimpan luka cinta pada masa lalunya?
Pernah menonton Tae Guk Ki?
Nenek dulu pernah berkisah, pada masa peperangan anak dan orangtua dapat terpisah jauh. Begitu pun kakak-adik. Ada yang berbulan-bulan, bahkan bertahuntahun. Bahkan, ada yang hingga ajal tiba, tidak lagi dapat bersua. Sofia menonton film Tae Guk Ki: Brotherhood of War yang dibintangi Jang Dong-Gun dan si pencuri hati para gadis, Won Bin. Film kolosal yang membuat Sofia terkesima tentang situasi perang yang porak poranda. Bukan hanya bicara tentang kematian, kekejian, dan hati manusia yang terpaksa harus menjadi separuh binatang. Lebih dari itu, perang menghancurkan sisi-sisi kemanusiaan yang sangat berharga: bangunan cinta.
Dua orang abang dan adik yang saling mencintai, pada akhirnya terpisah oleh ideologi. Lee Jin Tae mengabdi sebagai serdadu Korea Utara dan Lee Jin Seok memilih Korea Selatan. Meski, pada titik genting peperangan, Jin Tae memilih mengorbankan jiwanya demi melindungi adik yang dicintainya, Jin Seok.
Awalnya, Sofia menyangka bahwa kisah-kisah macam Tae Guk Ki hanya terjadi pada masa lampau, atau juga sekarang seperti yang terjadi di wilayah Palestina dan Suriah. Mustahil hal semacam itu terjadi pada kehidupan normal sehari-hari. Semenjak Sofia memutuskan untuk menghabiskan liburan natsuyasumi di Korea, hatinya bertanya-tanya. Pamannya tidak menunjukkan ekspresi apa pun ketika Sofia menyebutkan Seoul atau Korea Selatan.
Hanya, “Oh, ya? Jangan habiskan duitmu!”
Tidak ada ekspresi terkejut.
Ekspresi murung.
Ekspresi ingin tahu.
Atau, apalah yang menampakkan bahwa sebagai seseorang yang punya ikatan hati dengan Gyeong Hui atau putrinya Ninef, akan tersentak ketika mendengar sesuatu yang memiliki kaitan dengan kehidupan masa lalunya.
Pernah sekali waktu, Sofia memancing-mancing perihal Korea.
“Wah, Indonesia dan Korea mirip perjalanan sejarahnya, ya.”
“Mirip gimana?”
“Yah, tahun kemerdekaan kita enggak jauh beda. Indonesia empat lima, Korea juga empat lima. Kita menyatakan kemerdekaan tanggal 17 Agustus, Korea mendeklarasikan kemerdekaan dari Jepang 15 Agustus ‘45.”
“Hmh.”
“Indonesia pernah kena krisis moneter parah tahun 98, Korea juga.”
Paman diam.
“Menurut Om, apa, sih, yang membuat Korea dalam jangka waktu dua puluh tahun bisa semaju sekarang?”
“Kerja keras, pastinya,” Paman angkat bahu.
“Orang Indonesia juga pekerja keras, lho,” Sofia berpendapat. “Pasti ada hal yang lain.”
“Kalau Om lihat, sih, Jepang dan Korea itu samasama memegang filosofi budaya sekuat mungkin. Kamu pasti tahu, kan? Budaya Jepang dan Korea sangat terpelihara.”
“Ah, anak muda yang kebarat-baratan di Jepang dan Korea juga banyak,” Sofia menyangkal.
“Ya, pastilah. Tapi, coba lihat, huruf asli Jepang dan Korea. Kanji, hiragana, katakana. Juga, apa, tuh, huruf Korea?”
“Hangeul.”
“Ya, hangeul. Sementara, di Indonesia, emang kamu menguasai huruf hanacaraka? Arab pegon? Udah lupa, kan?”
“Yeee, nilai bahasa Jawa-ku sepuluh, Om! Aku dulu mahir banget nulis hanacaraka. Malah, aku ikut kelas kaligrafi pas SMP. Karyaku majang di kantor guru.”
“Iya, tahulah. Kamu, kan, emang pinter. Kalau enggak pinter mana mungkin Om kasih kesempatan kuliah di Jepun,” ledek Paman.
“Masa, cuma masalah huruf?”