Deru mesin bus yang melambat perlahan menembus sunyi, mengikis lapisan kelelahan yang membebani Reyhan Almahira. Setelah perjalanan panjang yang memuakkan dari Istanbul, melalui lanskap Anatolia yang luas dan menguning, ia akhirnya tiba. Bau debu kering, pinus, dan aroma tanah basah yang aneh—sebuah kombinasi yang tak dikenalnya—menyambutnya dari luar jendela. Bus berhenti dengan decitan pelan, mengusir sisa-sisa kantuk dari matanya yang lelah. Pintu terbuka, menyemburkan udara dingin yang tiba-tiba terasa mencekik. Inilah Karahisar. Desa yang begitu lama hanya berupa titik di peta dan narasi dalam buku-buku usang, kini terhampar di depannya, nyata dan dingin.
Ia menyeret tas punggung besar dan koper rodanya yang sudah usang ke luar. Udara yang dingin itu segera meresap ke dalam paru-parunya, membawa serta aroma lain yang samar namun konsisten: kemenyan. Bukan bau kemenyan yang manis dan menenangkan seperti di masjid-masjid Indonesia, melainkan aroma berat, sedikit apak, yang seolah menempel di udara, tak peduli ke mana ia melangkah. Ia mengerutkan kening, mencoba mencarinya, namun tak ada sumber yang terlihat. Sekelilingnya hanyalah bangunan-bangunan batu tua yang nyaris tanpa jendela di lantai dasar, berjejer rapat seperti benteng yang memenjara diri.
Desa itu sunyi. Terlalu sunyi. Tidak ada hiruk pikuk khas desa, tidak ada anak-anak bermain, tidak ada suara ternak, bahkan tidak ada kicauan burung. Hanya ada keheningan tebal yang terasa begitu pekat, seolah menyerap semua suara. Reyhan, mahasiswa antropologi berusia 25 tahun dari Yogyakarta, Indonesia, seharusnya merasa gembira. Ini adalah puncak penelitiannya tentang desa-desa tua Anatolia yang belum tersentuh modernitas. Ia telah mempersiapkan diri dengan baik, mempelajari bahasa Turki, membaca lusinan buku, dan bermimpi tentang keunikan budaya yang akan ia temukan. Namun, kegembiraan itu kini digantikan oleh rasa tidak nyaman yang merayap perlahan.
Seorang pria tinggi kurus, dengan wajah datar dan mata yang nyaris kosong, keluar dari sebuah truk pikap tua yang diparkir di dekat bus. Itu Ali Kadir, supir yang disewa Murad Bey untuk menjemputnya. Pria itu mengangguk kaku, tanpa senyum, tanpa sapaan. Ia hanya mengambil koper Reyhan dan melemparkannya ke bak truk seolah itu barang tak berharga. Reyhan mengernyitkan dahi. Biasanya, orang desa ramah dan banyak bicara. Tetapi Ali Kadir ini, seperti Karahisar sendiri, terasa dingin dan tertutup.
"Mari," suara Ali Kadir serak, memecah keheningan, "rumahmu sudah menunggu."