Pagi kedua di Karahisar tidak membawa serta kelegaan yang Reyhan harapkan. Langit desa masih diselimuti kelabu pekat, seolah lapisan awan tebal enggan menyingkapkan mentari. Reyhan terbangun dengan rasa lelah yang lebih berat dari sebelumnya, kepalanya pening, seolah ia tidak tidur sama sekali. Bau kemenyan itu kini terasa lebih kuat, menusuk hingga ke dasar paru-paru. Ia melangkah keluar dari rumah, udara pagi terasa sedingin es. Desa masih diselimuti kesunyian yang sama, seolah seluruh penghuninya belum terbangun atau sengaja bersembunyi.
Reyhan menghela napas panjang, mencoba mengisi paru-parunya dengan udara bersih, namun bau kemenyan itu terasa seperti melekat di mana-mana. Ia berjalan pelan menyusuri jalanan berkerikil, mengamati setiap detail desa. Rumah-rumah batu yang berjejer tampak begitu serupa, seolah dibangun oleh tangan yang sama dengan tujuan yang sama, menyembunyikan sesuatu. Jendela-jendela kecil di lantai atas tertutup rapat, beberapa bahkan ditutupi papan kayu yang sudah lapuk. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat dari balik dinding-dinding kokoh itu.
Ia melihat masjid tua di tengah desa, sebuah bangunan megah dengan menara tunggal yang menjulang. Namun, warnanya yang kusam dan ukiran-ukiran yang aus memancarkan aura suram. Di samping masjid, ada sebuah sumur tua dengan ember yang tergantung. Reyhan mendekat, berharap menemukan seseorang. Namun, sumur itu pun sunyi. Air di dalamnya tampak sangat gelap, memantulkan bayangan langit kelabu seperti cermin hitam.
Dari kejauhan, ia melihat seorang wanita tua, keriput dan membungkuk, menyapu halaman di depan rumahnya. Emine Hala, pikir Reyhan. Wanita pemilik toko rempah yang ia temui singkat di perjalanan. Ia memutuskan untuk mendekat, mencoba mencari interaksi manusia yang normal.
“Merhaba, Emine Hala,” sapa Reyhan ramah, mencoba tersenyum.
Wanita tua itu mengangkat kepalanya perlahan, menatap Reyhan dengan mata yang dalam, gelap, dan penuh makna. Ada sesuatu yang sangat kuno dalam tatapan itu, seolah ia telah menyaksikan ribuan tahun sejarah Karahisar. Emine Hala tidak membalas sapaan, hanya mengangguk pelan, kemudian pandangannya tertuju pada punggung Reyhan. Sekejap, matanya melebar. Ada kilasan ketakutan, atau mungkin pengakuan, yang melintas di sana. Namun, secepat kilat, ekspresi itu menghilang, digantikan oleh tatapan datar yang sama seperti warga desa lainnya.
“Udara pagi ini dingin, Nak,” kata Emine Hala, suaranya serak dan tua, namun nadanya terdengar seperti sebuah peringatan. Ia tidak menyebut soal kemenyan, meski baunya begitu jelas. Ia kembali menyapu halaman, seolah Reyhan tak pernah ada.
Reyhan merasa canggung. Ia ingin bertanya tentang tanda di punggungnya, tentang bau kemenyan, tentang kesunyian aneh ini. Namun, sesuatu menahannya. Tatapan Emine Hala yang tiba-tiba berubah itu membuatnya berpikir dua kali. Ia berbalik, melangkah menjauh, dan perasaan diawasi itu kembali, kini terasa lebih kuat dari sebelumnya, seolah mata Emine Hala yang kuno itu telah melihat hingga ke dalam jiwanya, hingga ke tanda Ra Cakra yang tersembunyi.