Sirr

Rieky Subandie
Chapter #3

Senyum Imam Dan Tatapan Diam

Matahari pagi ketiga di Karahisar akhirnya menampakkan diri. Namun sinarnya terasa dingin dan pucat, seolah kesulitan menembus lapisan kabut tipis yang masih menggantung di atas atap-atap batu. Reyhan terbangun, bukan dengan kelegaan, melainkan dengan perasaan gelisah yang semakin menjadi. Penemuan tulang di ruang bawah tanah semalam terus menghantui pikirannya, memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengerikan yang belum terjawab. Rumah batu itu, yang semula ia kira hanya tempat tinggal sementara, kini terasa seperti perangkap. Sebuah entitas hidup yang bernapas dengan rahasia gelap.

Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Setidaknya untuk saat ini. Ada hal yang lebih penting: bertemu Murad Bey. Pria yang disewa Ali Kadir kemarin telah menyebut namanya, memberi kesan bahwa Murad adalah sosok penting di desa ini. Reyhan berharap Murad dapat memberikan jawaban, atau paling tidak penjelasan rasional atas segala keanehan yang ia alami. Namun, bagian dalam dirinya merasakan firasat buruk. Ia merasa bahwa pertemuan ini justru akan membuka pintu menuju misteri yang lebih dalam.

Sebelum keluar, Reyhan menyingkap pakaiannya dan menatap punggungnya di cermin usang. Tanda Ra Cakra itu masih ada. Pendarannya kini tampak sedikit lebih jelas di bawah kulitnya yang pucat. Ia menyentuhnya perlahan. Rasa panas itu masih terasa, samar namun konstan, seperti bara api kecil yang tersembunyi dalam tubuhnya. Reyhan mengernyitkan dahi. Ia harus mencari tahu apa ini sebenarnya, apa hubungannya dengan Karahisar, dan mengapa muncul sekarang.

Ia melangkah menuju masjid tua di pusat desa. Bau kemenyan kini lebih pekat, khususnya di sekitar masjid, seolah dibakar setiap saat. Jantung Reyhan berdebar lebih cepat. Ia mencoba menenangkan diri, mengingatkan dirinya bahwa ia adalah seorang peneliti yang harus tetap objektif.

Di depan pintu masjid dari kayu berukir tua, seorang pria berdiri menunggu. Perawakannya tinggi dan tegap. Ia mengenakan jubah panjang berwarna gelap dan sorban yang rapi. Wajahnya dipenuhi janggut putih yang terawat rapi. Matanya memancarkan ketenangan yang aneh. Itu pasti Murad Bey.

Saat mata mereka bertemu, Murad Bey tersenyum. Senyum itu tampak hangat, ramah, dan menenangkan. Seperti senyum seorang pemimpin spiritual yang dihormati. Namun, ada sesuatu di balik senyum itu. Sesuatu di matanya yang dalam dan gelap membuat Reyhan merinding. Tatapan itu terlalu tajam dan terlalu penuh perhitungan. Seolah-olah ia melihat melampaui fisik Reyhan, langsung ke inti keberadaannya, ke tanda Ra Cakra yang tersembunyi di punggungnya.

"Selamat datang, Tuan Reyhan Almahira," ujar Murad Bey dengan suara dalam dan berwibawa. Namun di dalam suaranya terselip nada yang membuat bulu kuduk Reyhan meremang. Itu bukan hanya sapaan biasa, melainkan semacam pengakuan atau deklarasi. "Saya Murad Bey, imam desa ini. Saya sudah menunggu kedatanganmu."

Reyhan mengulurkan tangan, namun Murad Bey tidak menyambutnya. Ia hanya menunduk sedikit, sebuah gestur yang terasa kuno dan agung.

Lihat selengkapnya