Pertemuan dengan Murad Bey telah meninggalkan jejak dingin di hati Reyhan. Senyum ramah sang imam terasa lebih seperti topeng yang menutupi niat sebenarnya, dan tatapan matanya seolah menembus dinding pertahanan diri Reyhan, langsung ke tanda Ra Cakra di punggungnya. Perasaan diawasi yang samar kini berubah menjadi keyakinan kuat: Murad Bey tahu sesuatu. Lebih dari itu, ia tampak terlibat dalam setiap keanehan yang menyelimuti Karahisar. Malam setelah pertemuan itu, Reyhan tidur tidak nyenyak, terusik oleh bisikan-bisikan tanpa sumber yang terasa semakin mendekat, merayapi dinding kamarnya, seolah ingin menyampaikan pesan.
Pagi itu, Reyhan memutuskan untuk memaksakan diri fokus pada tujuan awalnya: penelitian. Ia harus mencari tahu lebih banyak tentang desa ini, mengumpulkan data, dan memahami kebudayaannya, bukan hanya terpaku pada misteri yang menakutkan. Ia mengambil buku catatan dan kamera lamanya, yang untungnya tidak memerlukan sinyal untuk berfungsi. Tekadnya adalah untuk menjadi seorang antropolog yang objektif, meskipun setiap langkah di Karahisar terasa seperti melangkah ke dalam lubang hitam.
Ia memulai penjelajahannya dari masjid tua, tempat yang paling menonjol di desa. Bangunan itu tampak megah sekaligus angker. Dinding-dindingnya yang terbuat dari batu hitam besar memancarkan aura kuno yang pekat. Ukiran-ukiran kaligrafi Arab di ambang pintu sudah aus termakan usia, namun masih menyimpan keindahan yang suram. Reyhan menghabiskan waktu berjam-jam di sana, mencoba mencatat arsitektur, pola ukiran, dan simbol-simbol yang ia temukan. Ia mencari perpustakaan kecil di dalam masjid, berharap menemukan manuskrip atau catatan sejarah lokal.
Yang ia temukan hanyalah beberapa rak buku tua yang dipenuhi kitab-kitab agama, sebagian besar dalam bahasa Arab atau Turki Utsmani kuno yang sulit ia pahami sepenuhnya. Ia mencoba mencari referensi tentang sejarah Karahisar atau cerita rakyat setempat, namun nihil. Buku-buku itu hanya berisi ajaran agama, tafsir, dan kisah-kisah moral. Tidak ada yang menyinggung tentang asal-usul desa, atau, yang lebih penting baginya, tentang simbol-simbol aneh seperti Ra Cakra.
Saat ia sedang asyik mencatat salah satu ukiran di dinding luar masjid, ia merasakan hembusan angin dingin di belakang lehernya. Bau kemenyan itu tiba-tiba menguat, seolah ada seseorang yang baru saja membakarnya tepat di sampingnya. Reyhan berbalik cepat, namun tidak ada siapa-siapa. Hanya dinding batu masjid yang kusam dan jalanan berkerikil yang sepi. Ia mengernyitkan dahi. Perasaan itu terlalu nyata untuk diabaikan. Ia merasakan seperti ada bayangan hitam yang bergerak sangat cepat di sudut matanya, melesat ke balik dinding atau menghilang di balik pohon zaitun tua.
"Hanya kelelahan," gumamnya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan otaknya yang mulai berhalusinasi. Namun, jantungnya berdebar tidak tenang. Ini bukan kali pertama ia merasakan hal aneh seperti ini. Sejak tiba di Karahisar, ia seperti terus-menerus diawasi oleh sesuatu yang tak terlihat.