Sirr

Rieky Subandie
Chapter #5

Resep Rempah dan Mata Hati

Mimpi buruk tak henti-hentinya menyelimuti Reyhan malam itu, lebih jelas, lebih brutal dari sebelumnya. Ia melihat bayangan-bayangan melesat di lorong-lorong gelap, mendengar bisikan yang seolah memanggil namanya dari kejauhan, dan merasakan panas menyengat dari punggungnya yang terus membakar. Ia terbangun dengan peluh dingin membanjiri tubuhnya, napas terengah-engah, dan Ra Cakra di punggungnya berdenyut tak terkendali. Matahari sudah tinggi, menembus celah-celah di atap rumah, namun tidak membawa serta kehangatan. Rumah itu terasa lebih dingin, lebih asing, seolah kengerian semalam masih menempel di setiap sudutnya.

Rasa nyeri di punggungnya kini bukan lagi sekadar denyutan samar. Itu adalah rasa sakit yang konstan, seperti luka bakar yang tak terlihat namun terus-menerus memburuk. Setiap gerakan kecil terasa seperti menyayat kulitnya. Reyhan mencoba mengabaikannya, namun tidak bisa. Ini adalah konsekuensi dari hal-hal yang ia lihat, dengar, dan rasakan di Karahisar. Ia tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri bahwa ini hanya kelelahan. Ini nyata.

Setelah sarapan seadanya dengan roti kering dan air, Reyhan memutuskan untuk kembali ke desa. Ia perlu mencari jawaban, meskipun ia takut dengan apa yang mungkin ia temukan. Sasarannya kali ini adalah Emine Hala. Wanita tua itu memiliki tatapan yang berbeda, tatapan yang seolah tahu lebih banyak dari sekadar seorang penjual rempah. Ada harapan kecil bahwa Emine mungkin bisa memberinya petunjuk, atau setidaknya, penjelasan tentang kegilaan yang mulai merayapi hidupnya.

Perjalanan menuju pusat desa terasa lebih berat. Setiap langkah memicu nyeri di punggungnya. Bau kemenyan di udara makin pekat, terasa seperti kabut yang mencekik. Rumah-rumah batu yang ia lewati tampak lebih suram, jendela-jendela kecil di lantai atas kini seolah menjadi mata-mata yang mengawasinya dari balik kegelapan. Tidak ada seorang pun yang terlihat di jalanan, hanya keheningan yang menyesakkan, seolah Karahisar adalah desa hantu yang masih beroperasi.

Ia tiba di toko rempah Emine Hala. Pintu kayunya terbuka sebagian, dan aroma rempah-rempah yang kuat menyeruak keluar, bercampur dengan bau kemenyan yang mendominasi. Emine Hala duduk di bangku kecil di dalam tokonya yang sempit, menggerus sesuatu di sebuah lumpang batu. Wajah tuanya terukir kerutan dalam, namun matanya yang gelap dan tajam menatap Reyhan dengan intens saat ia melangkah masuk.

"Tuan Reyhan," sapa Emine Hala, suaranya serak namun terdengar lebih hangat dari biasanya. Ia tidak tersenyum, namun ada ekspresi pengakuan di matanya. "Saya tahu kau akan datang."

Reyhan merasa sedikit terkejut. "Bagaimana Anda tahu, Emine Hala?"

Emine Hala meletakkan lumpangnya dan menunjuk ke arah Reyhan dengan jarinya yang keriput. "Mata hati saya melihatnya. Udara Karahisar berbicara. Dan punggungmu, Nak, bercerita lebih banyak."

Jantung Reyhan berdegup kencang. Ia tahu Emine Hala bukan orang biasa. "Anda... Anda tahu tentang ini?" tanya Reyhan, ragu-ragu menunjuk ke arah punggungnya sendiri.

Emine Hala mengangguk pelan. "Itu adalah tanda. Bukan hanya tanda lahir, tapi takdir. Sudah ada pada mereka yang terpilih, dari generasi ke generasi." Ia bangkit perlahan, berjalan mendekati Reyhan. Setiap langkahnya terasa pelan dan penuh bobot. "Darahmu, Tuan Reyhan, terhubung dengan sejarah kuno desa ini. Bahkan lebih kuno dari yang kau bayangkan."

Reyhan merasakan bulu kuduknya merinding. "Apa artinya? Apa itu Ra Cakra? Dan mengapa ada di punggung saya?"

Lihat selengkapnya