Sisa-Sisa Serpihan Mimpi

Saarah N
Chapter #2

First Act: Sorrow

讓我們回到那一秒

你, 好不好?

… Let us turn back to that time

How have you been?

.

Iona mengerjap. Berusaha menjernihkan pandangan yang masih serasa mengabur. Lantunan lagu Mandarin yang ia putar ketika bangun tidur kini mencapai nada akhir. Perlahan, suara merdu Eric memudar, menyisakan keheningan yang lembut, diselipi oleh kicau burung pagi dan obrolan ceria antara tetangga dengan tukang sayur.

Gadis itu bangkit menjadi posisi duduk, meloloskan kuapan. Sudah menjadi rutinitas untuk menyetel lagu ketika alarm dari ponsel pintarnya meraung keras. Bagi Iona, itu lebih membantunya untuk membuka mata dibanding menyetel beberapa alarm secara kontinu dan repetitif. Selain itu, mengawali hari dengan lagu kesukaan tidak buruk, bukan? Meski begitu, lagu kesukaannya akan berubah-ubah dan rasanya tidak apa. Bulan kemarin Iona senang membiarkan melodi Stand by Me-nya Ben E. King berputar-putar di sudut kamarnya. Kemudian satu caturwulan lalu, Koi-nya Gen Hoshino menjadi tanda pembuka hari.

Sesungguhnya, asal nada dan feeling dari lagu tersebut terdengar pas—Iona tidak terlalu peduli dengan bahasanya. Sebab, baginya lagu yang baik adalah yang dapat mengungkapkan rasa meski bahasa tidak dimengerti seluruh manusia yang ada. Arti yang menyertai akan menjadi pelengkap yang sempurna, namun itu nomor dua.

Memeriksa jam pada layar ponselnya, Iona akhirnya kini menggerakkan diri dari kasur. Meski tidur dan rebahan lagi terdengar baik, tapi ia perlu ke kampus hari ini. Maka ia bersiap-siap. Handuk diambilnya dan tungkainya mengarahkan ia pada kamar mandi. Air hangat sudah dinyalakan oleh ibunya sedari tadi, maka ia hanya perlu membasuh tubuh.

Seusai membersihkan diri, Iona membalut tubuh dengan handuk. Lemari dibuka, ia meraih skinny jeans high rise, sebuah tank top hitam, dan kemeja putih kebesaran bercorak marmer. Saat busana itu telah dengan rapi ia kenakan, Iona menatap cermin. Menimang-nimang apakah hari ini ia perlu menggunakan soft lens atau hanya membawa kacamata saja.

“Ah.” Iona menyisir helai hitam jelaga miliknya. “Males, deh,” celetuknya, akhirnya—lebih pada dirinya sendiri dan memasukkan kotak kacamata pada tasnya Lalu sang gadis pemilik iris secerah hazelnut memastikan bahwa isi backpack kecilnya lengkap. Kartu Mahasiswa, tab, jepit rambut, ponsel dan charger, dompet—oke. Iona melangkah, membuka pintu kamar, keluar dari sana, lalu menutupnya.

Selang lima detik, ia kembali ke kamarnya, membuka lemari baju, dan sebelah tangan mencomot satu bundel kaos kaki. Berikutnya ia turun ke bawah, melewati tangga, lalu mengambil sepatu kets putih dari raknya. Mengetuk-ngetuk ujung kaki usai mengenakan sepatu, Iona bersiap ke pintu depan untuk menunggu ojek online yang telah dipesan.

Namun sebelum benar-benar keluar, sebuah suara menahannya pada pintu kayu, dibubuhi tanda tanya di akhirnya, “Iona, nggak sarapan?”

Iona berbalik sesaat, melihat ibunya di dekat meja makan dengan satu gelas kopi. Itu menjelaskan harum kafein yang menguar sedari pagi. Wanita itu nyaris paruh baya, penampilannya dikuasai rasa formal dengan kemeja dan celana panjang bahan berwarna hitam. Sama sepertinya, ibunya telah bersiap untuk menjalani hari; pergi ke kantor. Iona menggeleng, menyahut singkat, “Beli roti saja nanti.”

“Ohh … okay. Hati-hati di jalan.”

“Hn.”

Iona mengernyit. Konversasi yang hambar, kaku, dan tak berselera. Nyaris begini setiap pagi—untuk apa ibunya repot-repot bertanya bila jawaban yang sama telah berkali-kali dirapalkan sedari dulu? Ia lebih dari sadar kalau mereka ini layaknya dua program dengan algoritma yang telah disusun tanpa rasa. Tanya-jawab yang ada bukanlah bentuk afeksi, lebih-lebih perhatian. Hanya sebatas formalitas serta keseharian monoton.

Saat ojek online itu sampai di depan rumahnya, Iona disodorkan sebuah helm. Gadis itu menyambut helm yang diberikan, lalu terdiam sesaat. Pikirannya berkelana jauh ke memori sebelumnya.

Lihat selengkapnya