Berbicara soal galak—sebetulnya bukan tanpa alasan, kok. Iona Leslie Sellia juga adalah manusia yang masuk akal, serta bertindak dengan setir logika. Terkadang, jujur—terlalu banyak logika yang digunakan, hingga empati dan simpati menyingkir dari tempatnya. Namun, apa boleh buat? Terkadang menggunakan terlalu banyak hati dan rasa hanya akan memusingkan diri sendiri.
Misalnya, Iona sering sekali menemui kawan sekelasnya bertanya terus-terusan padanya. “Tugas kumpul di mana? Kapan?” atau “Ini ketentuannya bagaimana? Punya lo assignment-nya sudah kelar? Lihat, dong!” atau “Gue nggak ngerti sama sekali, nih! Coba ajarin gue, dong.”
Maksudnya—hei! Soal briefing tugas atau kumpul di mana, itu bisa dilihat sendiri kan dari e-mail dosennya? Atau, catatlah ketika para dosen tengah mengajar dan menjabarkan apa yang harus dilakukan. Bukannya malah bertanya kesana dan kemari, malas mencari, lalu mengandalkan orang lain seenaknya saja. Mempunyai pola pikir, “Ah, nanti tinggal tanya kalau tidak tahu.”
Sialan. Okay, baiklah—Iona sendiri akui, terkadang ia bertanya untuk satu atau dua hal, tapi itu pun jika ia sudah yakin bahwa kebingungan yang ia alami tidak memiliki informasi sama sekali. Terlebih, Iona tidak masalah menjawab pertanyaan untuk satu atau dua kali. Namun, kalau berulang-ulang—jengah juga, bukan? Apalagi bagi mereka yang meminta untuk melihat karyanya dan dijadikan patokan.
Enak saja! Tidak sudi. Iona pernah sekali memberikan contoh hasil karya yang telah ia selesaikan di semester satu lalu, lalu orang tersebut malah membuat sesuatu yang sedikit lebih berbeda dan bagus dari miliknya dan mendapat nilai di atas Iona. Lalu, kebanyakan bagi mereka yang mengaku tidak paham sama sekali dan minta diajari juga tidak berniat usaha terlebih dulu. Mencari tutorial saja tidak—padahal, zaman sekarang, Youtube dan media lain bisa menjadi perantara yang mudah untuk mencari ilmu. Maunya yang mudah saja; minta orang lain ajari. Sudah mahasiswa, kok, kelakuan masih serupa anak-anak ingusan senja kemarin. Maaf saja—tidak lagi. Kerjakan saja sendiri, berpikir, gunakan otak, kreativitas, dan internet untuk referensi!
Maka, tidak aneh, bukan, kalau Iona galak? Bisa habis kesabaran dan tenaganya bila meladeni orang-orang seperti itu. Pun, Iona sendiri memiliki banyak tugas serta kerjaan yang harus diselesaikan—ia tidak mau tanggung jawabnya malah telantar akibat “menyusui” anak orang lain. Peduli setan. Iona juga sadar kalau kesabarannya hanyalah sepanjang ekor tikus—sama sekali tidak panjang, sebetulnya.
Iona menarik napas, lalu menghelanya perlahan. Kalau mengingat-ingat, banyak sekali orang di sekelilingnya memberi advis untuk jangan terlalu galak, penuh sarkasme, atau senantiasa dibungkus sifat judes. Namun bila ia berpikir dan refleksi ulang—rasa-rasanya valid saja mengapa sikapnya begini; mengingat orang di sekelilingnya sangat tidak bisa diandalkan. Bahkan ibunya saja tidak.
Konklusi pun diraih. Kalau ingin menjalani kuliah dengan tenang, tanpa sibuk mengurusi orang lain atau kehidupan dirisak orang lain—lebih baik ia bersikap begini saja. Toh, memang ia memiliki banyak alasan lainnya kenapa pada akhirnya karakter seperti ini yang membaluti tindak-tanduknya. Jadi, biarkan saja. Buktinya ia bisa sendirian, kok. Hanya saja, memang tak bisa dipungkiri kalau dirinya sedikit kesal akibat panggilan yang satu tahun belakangan ini menjadi label padanya. Diumbar tanpa tahu diri, diucapkan tanpa berpikir dua kali, dikumandangkan dengan bangga, bahwa ia adalah—
“Si Brengsek Anak DKV.”
—ya. Iona mengerjap. Ia menunduk sesaat, melihat genggaman tangannya sendiri pada nampan dengan beef bowl yang ia pesan di kantin. Berikutnya Iona berbalik sepenuhnya dan menemukan dua mahasiswi mengantre di belakangnya. Salah satunya adalah yang Iona temui pagi ini di depan kelas Pak Amir. Keduanya memucat, menjatuhkan rahang. Iona menendang sudut-sudut bibir—terhibur. Ekspresi yang tidak ada duanya—dari dua orang adik kelas itu.
Barangkali ini momen favoritnya sejak label itu dilabuhkan pada dirinya. Memergoki mahasiswa lain tidak sengaja menyebut panggilan itu tepat di depan objek pembicaraannya.
“Sudah puas bergunjing?” Iona bertanya, menyingkir dari antrean. “Nyasar, nggak, tadi ke kelas Pak Eka?”
Gelengan lemah diberikan.
“Bagus,” Iona merespon. Senyumnya manis—keterlaluan manis. “Lain kali cari tahu dulu ruangannya sama LM di lantai 1,” lanjutnya, lalu melangkah pergi. LM—Layanan Mahasiswa, divisi di kampus yang memang tugasnya, yah, membantu para mahasiswa, baik itu terkait jadwal, pembayaran uang kuliah, atau informasi para pengajar. Lihat, bukankah mengecek jauh lebih mudah dibanding berputar-putar di gedung kampus yang luasnya luar biasa?
Lalu, Iona melengos. Ia melangkah, melewati dua mahasiswi itu, kemudian ia mencari kursi dan meja kosong yang tersisa. Saat menemukannya, Iona mendudukinya, meraih sumpitnya. Sebelum dilepas kertas yang membungkus sumpit, gadis itu menurunkan kedua pelupuknya.
Ya Bapa, terima kasih atas makanan yang telah Kauberikan. Biarlah makanan ini jadi berkat untuk hari-hariku dan aktivitasku selanjutnya, Amin.
Seusai melafalkan doa yang telah dihapal mati itu di dalam sanubarinya, Iona mencopot kertas yang membungkusi sumpit, kemudian mulai melahap beef bowl yang masih hangat dan beraroma menggiurkan itu.
.
.