Sisi Gelap

Ari Keling
Chapter #1

Permintaan Tolong

Saya berdiri sendirian di tengah lapangan pesantren. Saya mengerjapkan mata mendapati kabut tipis menyelimuti keseluruhan area pondok. Bangunan kelas, asrama, dan pepohonan di taman seolah ditelan perlahan oleh halimun dingin. Sementara itu, bulan yang memantulkan cahaya matahari di ketinggian menjadi satu-satunya penerangan. Saya tidak tahu kenapa semua lampu mati. Barangkali sedang ada pemadaman listrik.

“Mas Karim, tolong, Mas ….”

Suara seorang santriwan memecah keheningan meski terdengar lirih dan sedih. Saya memperhatikan sekitar yang sepi, mencari asal permintaan tolong anak laki-laki itu. Namun, sejauh mata memandang hanya ada kabut dan kepekatan.

“Tolong saya, Mas Karim ….”

Saya spontan menoleh ke ujung bangunan. Saya menerka suara itu berasal dari toilet santriwan. Saya melangkah perlahan ke sana menembus halimun dingin yang menyengat kulit. Saya mengusap-usap telapak tangan sekadar menghangatkan badan, tetapi suhu rendah itu malah membuat saya agak menggigil. Saya hanya mengenakan kaus polos dan sarung. Sementara kaki saya telanjang. Saya tidak mengerti kenapa saya tidak mengenakan sandal jepit seperti biasanya. Telapak kaki saya jadi agak sakit akibat lapangan plesteran yang didinginkan cuaca.

“Mas Karim, tolong saya, Mas ….”

Saya tidak bisa mempercepat langkah. Gerak kaki saya seolah sudah diatur oleh kekuatan magis yang entah berasal dari mana. Sementara itu, jantung saya berdebar tak keruan. Bagaimanapun nyali saya menciut berjalan sendirian di tengah malam sesepi ini. Namun, saya penasaran kenapa permintaan tolong itu kembali terdengar. Ini bukan kali pertama saya mengalami kejadian ini. Meski dihantam kegentaran, saya tetap berupaya menghampiri anak laki-laki itu. Sialnya, sampai sejauh ini saya belum bisa melihat bagiamana rupanya. Saya tidak tahu dia siapa.

Setibanya di ujung bangunan, saya mendadak membeku. Seluruh tubuh saya tidak dapat digerakkan. Padahal, tinggal belok ke kiri, sekitar sepuluh meter muka toilet terlihat. Saya mendengar rintihan kesakitan dan permintaan tolong lagi, tetapi saya tidak bisa memeriksa lebih lanjut. Entah apa yang membuat sekujur tubuh saya mematung sempurna. Bahkan, mulut dan lidah saya pun tidak bisa berfungsi sebagaiman mestinya. Sampai kemudian rasa sakit menjalar dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Saya tidak mampu berteriak atau berkata-kata. Lantas seluruh raga saya pecah seketika.

Saya terbangun dari tidur. Saya mengerjap-ngerjapkan mata melihat langit-langit kamar dengan ruangan yang gelap. Saya bergerak perlahan dan duduk di tepi ranjang. Saya menyeka keringat dingin di kening sembari memperbaiki pernapasan yang agak tersengal. Saya meraih ponsel di meja kecil sebelah ranjang. Waktu menunjukkan hampir subuh.

Mimpi itu kembali terjadi. Semenjak dua minggu lalu bekerja sebagai petugas kebersihan pesantren, saya mengalami beberapa kali mimpi buruk. Saya yakin ini bukan mimpi biasa. Pasalnya, mimpi itu selalu diisi dengan permintaan tolong seorang anak laki-laki yang sampai sejauh ini tidak saya ketahui siapa. Setiap hendak mendekati asal suaranya, tiba-tiba saja saya terbangun.

Lihat selengkapnya