Pagi menjelang siang para santri belajar di kelas masing-masing. Para santriwan berada di gedung depan, sedangkan santriwati di gedung belakang. Dua gedung itu dipisahkan taman yang saat ini sedang saya bersihkan.
Di tengah taman ada kolam ikan koi yang sisinya terdapat tanaman hias. Saya melemparkan pelet ke kolam. Airnya langsung berkecipak-kecipuk karena para ikan berebut makan. Mendapati ikan-ikan itu mengingatkan saya pada Emak di rumah. Saya terpaksa meninggalkan Emak yang hanya ditemani ikan-ikan hias di akuarium.
Bapak saya meninggal dunia saat saya lulus SMP. Bapak berpulang karena sakit paru-paru. Dokter bilang sakitnya itu lantaran banyak merokok. Hal itulah yang akhirnya membuat saya tidak mau merokok. Saya tidak ingin menyakiti diri sendiri dan orang sekitar dengan asap tembakau yang pasti mengganggu pernapasan. Bapak bekerja segai buruh di pabrik kecil yang tidak bonafide. Sejak ketiadaan Bapak, saya dan Emak terpuruk dalam kesedihan. Saya belum siap kehilangan Bapak, dan rasanya memang tidak pernah siap.
Emak akhirnya bekerja serabutan. Entah menjadi kuli nyuci atau menggosok pakaian di rumah tetangga. Emak melakukan itu demi kami bisa tetap makan dan saya tidak putus sekolah. Melihat Emak sering kecapekan, saya memutuskan untuk membantu mencari uang. Sepulang sekolah saya jadi penjaga parkir di minimarket. Kadang, saya juga jadi Pak Ogah di perempatan jalan membantu mengatur lalu lintas. Penghasilan saya tidaklah banyak karena harus bergantian dengan orang lain yang juga membutuhkan lahan pekerjaan penjaga parkir dan Pak Ogah. Namun setidaknya, saya bisa membantu keuangan keluarga.
Emak tidak bisa meminta bantuan pada siapa pun. Kakek dan nenek saya sudah meninggal dunia lebih dulu. Emak adalah anak semata wayang, sama seperti saya. Sementara adik dan kakak Bapak seolah tidak peduli lagi dengan kehidupan kami. Mereka tidak bertanya kabar dan sibuk dengan kehidupan masing-masing. Lagi pula saya tidak mau berharap banyak pada mereka. Mungkin juga mereka memiliki kebutuhan yang tidak bisa dibagikan untuk saya dan Emak. Saya memang harus lebih memahami keadaan seperti itu.
Menjalani kehidupan yang sulit di usia yang terbilang dini membuat saya berpikir lebih dalam. Saya berupaya giat belajar agar tetap naik kelas, sehingga tidak menyusahkan Emak. Saya berusaha menjadi anak yang pandai, tetapi tetap saja otak saya pas-pasan. Namun saya bersyukur, saya bukanlah murid yang bodoh, tetapi tidak bisa juga disebut pintar. Sebenarnya itu tidak penting. Pasalnya, saya hanya ingin cepat lulus SMK, mendapatkan ijazah, lalu bisa bekerja.
Susah payah Emak dan saya mendapatkan uang untuk biaya sekolah SMK dan kebutuhan kami sehari-hari. Karena keadaan ekonomi keluarga yang tidak bagus itu, saya jadi anak yang kekurangan waktu bermain bersama teman yang lain. Waktu saya lebih banyak habis dengan belajar di sekolah, mencari uang sebagai penjaga parkir dan Pak Ogah, serta menyempatkan diri membaca buku pelajaran di rumah. Saya tidak boleh tinggal kelas. Saya benar-benar harus lulus dengan nilai yang tidak jelek-jelek amat.
Berkat perjuangan Emak dan doanya, akhirnya saya lulus SMK dengan jurusan Otomotif. Saya tidak bersikeras harus bekerja sesuai dengan jurusan. Saya mengirim lamaran ke beberapa perusahan apa saja dengan persyaratan kelulusan SMA sederajat. Rupaya mencari pekerjaan juga tidak mudah. Setidaknya lima kali saya gagal, padahal sudah spikotes dan sampai ke tahap wawancara. Saya sempat sedih karena hampir setahun menganggur dan belum bisa membantu Emak keluar dari kesulitan ekonomi. Emak yang tahu saya terpuruk kemudian menyemangati. Sampai kemudian saya bisa bekerja di perusahaan elektronik. Di perusahan itu saya bekerja dikontrak selama sembilan bulan. Saya senang sekali ketika mendapat perpanjangan kontrak dengan durasi yang sama. Ada harapan besar menjelang habisnya masa kontrak, saya akan diangkat menjadi karyawan tetap. Namun, harapan itu ternyata tidak terlaksana. Saya terpaksa putus kontrak dan harus mencari pekerjaan lain.
Semua kebutuhan di rumah tergantung dengan penghasilan saya. Meski begitu, Emak tetap mengingatkan saya untuk berupaya menabung. Kata Emak, saya harus mempersipakan untuk keperluan masa depan saya. Selain itu, Emak juga berujar uang tabungan bisa dipakai untuk kebutuhan mendesak yang tidak terpikirkan. Intinya, kami harus punya dana tidak terduga.
Karena semua perusahan dan pabrik memakai sistem kontrak, akhirnya saya terus berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Namun, pada prosesnya tidaklah mudah. Ada saja kendala tidak diterima saat melamar pekerjaan. Ada juga kekhawatiran uang simpanan saya habis karena terus diambil untuk keperluan sehari-hari selama menganggur. Puncaknya, ketika saya kembali menganggur dan virus covid-19 menyerang Indonesia. Saya semakin sulit mendapatkan pekerjaan, ditambah usia saya yang terus bertambah.
Saya stres sekali paca covid-19 pun tetap menganggur. Saya ingin melamar di pabrik-pabrik kecil yang ternyata banyak yang gulung tikar akibat dampak virus tersebut. Padahal, saya rela jika gajinya tidak sampai upah minimum, yang penting saya punya penghasilan. Sementara menjadi penjaga parkir dan Pak Ogah tidak banyak membantu. Dua pekerjaan itu justru diperebutan banyak orang yang juga menganggur. Kami harus bergantian dengan durasi yang lebih singkat, sehingga pendapatan makin kecil.