Setelah membersihkan taman dan memberi makan ikan-ikan di kolam, saya menyimpan sapu lidi dan pengki ke gudang. Di dalam bangsal penyimpan itu memang banyak barang yang saya perlukan untuk kebersihan pesantren. Pak Kiai Ahmad juga mempercayakan saya untuk memegang kuncinya.
Kali pertama bertemu Pak Kiai Ahmad, beliau juga bercerita bahwa usianya 70 tahun. Meski begitu, beliau masih tampak segar dan sehat. Beliau sering berpakian serbaputih yang mengesankan kebersihan dan kesucian. Meski tubuhnya agak gemuk, tetapi gerakannya masih cekatan. Wajahnya yang banyak kerutan tetap memancarkan jiwa kepemimpinan yang menenangkan sekaligus menimbulkan rasa segan—lebih tepatnya seseorang yang mudah untuk dihormati. Bukan hanya para santri yang menghormati beliau, tetapi juga masyarakat setempat. Dalam lingkungan pesantren, beliau dipanggil ‘Pak Kiai’ oleh para santri dan guru-guru, sehingga saya pun ikut menyebutnya seperti itu. Sedangkan di luar pesantren, masyarakat lebih sering memanggilnya ‘Kiai Ahmad’ atau “Kiai’ saja.
Selama bekerja di pesantren, Pak Kiai Ahmad selalu bersikap baik pada siapa pun. Meski beberapa kali saya mendapatinya sedang berkata kepada santri dan guru dengan tegas, tetapi wajahnya selalu memancarkan senyuman bersahabat. Sebelum menerim saya sebagai petugas kebersihan di pesantren, beliau meminta saya membaca Al-Qur’an. Katanya dalam lingkungan pesantren, terlebih orang sedawasa saya, haruslah sudah bisa membaca kitab suci Al-Qur’an. Apalagi, saya akan menjadi bagian dari pesantren, sudah sepatutnya bisa membaca firman Allah Swt. tersebut. Kata beliau pula, jika belum bisa membaca Al-Qur’an, akan ada guru yang membimbing saya sampai saya bisa membacanya. Untung saja saya bisa membaca Al-Qur’an walau tidak sebagus guru yang lain, sehingga karena alasan itu pula saya bisa bekerja di sini.
Dari dalam gudang saya membawa ember, pel, dan sebotol cairan pembersih lantai. Saya menuju toilet santriwan, tempat di mana saya selalu mendengar permintaan tolong dalam mimpi. Sudah beberapa kali saya mencoba mencari sesuatu di sana sambil bebersih. Kali ini saya juga mau memperhatikan toilet itu lebih saksama. Barangkali kali ini saya bisa menemukan petunjuk penting yang akan membawa saya lebih dekat pada anak santri laki-laki itu. Bagaimanapun saya masih penasaran. Mungkin saya satu-satunya orang yang bisa dia andalkan untuk dimintai pertolongan. Saya harus menolongnya meski belum tahu dengan cara apa.
Setibanya di toilet, saya masuk ke salah satu bilik WC. Saya membuka keran untuk menampung air dalam ember. Setelah itu saya menuangkan cairan pembersih lantai dan mulai mengepel. Sesekali saya memperhatikan area yang sedang saya bersihkan demi mendapatkan petunjuk terkait mimpi semalam. Bukan hanya lantai yang menjadi fokus saya, tetapi juga tembok dan langit-langit ruangan. Saya juga mengelap wastafel keramik yang tampaknya masih baru. Namun rupanya, saya tidak juga menemukan apa pun yang bisa dicurigai. Tidak ada kejanggalan di ruangan toilet ini.
Setelah selesai membersihkan sebagian lingkungan pesantren, saya membersihkan diri karena sebentar lagi azan zuhur berkumandang. Saya mandi disertai banyak pertanyaan. Mimpi-mimpi buruk itu masih saja lekat dalam ingatan. Biasanya, mimpi itu masuk ke ingatan jangka pendek, bahkan langsung lenyap dari ingatan begitu terjaga dari tidur. Namun, mimpi-mimpi yang membawa saya ke sisi gelap pesantren masuk ke ingatan jangka panjang. Saya ingat semua mimpi buruk tersebut. Itulah yang makin membuat saya terus yakin bahwa semua mimpi adalah rangkaian petunjuk dari seorang anak laki-laki yang meminta pertolongan saya.
Selepas salat zuhur berjamaah di masjid, saya menuju kantin bersama para santriwan. Kami makan bersama dengan keadaan yang tidak terlampau berisik. Para santri memang diajarkan untuk tenang dalam menikmati hidangan. Sementara di bagian sebelahnya diisi para santriwati yang juga sedang makan siang.
Sesudah mengisi perut, saya menuju kamar untuk sekadar beristirahat sejenak. Saya melewati beberapa kelas santriwan. Saat berbelok di ujung ruangan, saya berpapasan dengan Ustaz Mardani, salah satu guru sekaligus salah satu anak Pak Kiai Ahmad.