"Saya tidak mau tahu, anak Ibu harus bertanggung jawab!"
Aku memahami kata demi kata yang keluar dari mulut pria yang merupakan ayah dari teman anakku.
"Anak saya bisa saja cacat karena dia, Leo harus bertanggung jawab!"
Jujur saja aku tidak mengerti, baru juga datang tetapi pria itu emosi dan marah-marah saat melihat kedatanganku.
Apa yang telah dilakukan anakku? Leo, apakah dia melakukan sesuatu yang merugikan orang lain?
"Dia hampir membunuh anakku, dia psikop*t!" Pria itu kembali berucap, kali ini dengan menunjuk wajah putraku. Tatapannya begitu mengerikan.
Bagai disambar petir di siang bolong. Bagaimana hati seorang ibu yang telah membesarkan putranya sepenuh hati dan tiba-tiba seseorang mengatakan anakku psikopat?
Tidak, itu salah. Anaku tidak mungkin melakukannya. Bahkan dengan darah saja, Leo ketakutan. Rasanya itu mustahil.
_____
Aku Sisilia, umurku 43 tahun. Kini aku bekerja sebagai perawat gigi di sebuah klinik ternama di Ibu Kota. Tiga tahun yang lalu aku telah memutuskan untuk pindah ke Ibu Kota. Kembali menata kehidupanku setelah mengalami gagal dalam berumah tangga. Ya, aku seorang single parent saat ini.
Namun sebuah status tak membuatku berkecil hati untuk tetap mengurus putra semata wayangku seorang diri. Toh berumah tangga pun tak membuat aku bahagia, sama saja aku mengurus putra dan menghidupinya seorang diri.
Pada dasarnya aku menikah karena paksaan kedua orang tuaku. Hanya demi menutupi aib, orang tuaku rela merogoh kocek yang sangat dalam demi membeli laki-laki itu.
Hal ini lantaran kecerobohan dan kesalahan yang tidak termaafkan. Memberikan sesuatu yang sangat berharga pada pria yang baru aku kenal.
Aku hamil diluar nikah. Bodohnya pria yang menghamiliku menghilang dari peredaran begitu saja. Orang tuaku murka dan segala caci maki serta kutukan menghujami diriku. Aku menerima dengan menurut dinikahkan dengan pria lain.
Benar saja, pernikahanku bagai neraka. Laki-laki yang seharusnya menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab justru terbalik. Membiarkan aku bekerja dan dia hanya ongkang-ongkang kaki. Bermain perempuan di luar sana dan sebagainya, sebenarnya aku sudah muak dan tidak ingin membahas lagi tentangnya. Tetapi aku yakin pembaca ingin tahu tentang diriku.
Rasanya dadaku nyeri saat mengingat masa laluku. Hanya pada Leo-lah harapanku saat ini. Semoga saja dia tidak seperti dua lelaki yang aku kenal.
"Biarkan Leo tinggal di sini saja bersama kami, Si. Di sana kamu bisa fokus bekerja tanpa memikirkan bagaimana dengan Leo. Ibu dan Papa akan senantiasa membantumu," ucap Ibu kala itu.
Aku tidak mendengarkan apa saran ibuku, tetap dalam pendirian ku. Pergi bersama putraku atau tidak sama sekali. Aku tidak ingin berpisah darinya dan aku juga tidak ingin hidup menjadi benalu untuk orang tuaku sendiri.
"Tidak Bu, aku akan tetap membawa Leo bersamaku. Aku bisa menjaganya." Aku tetap bersikeras.
Ibu hanya diam, ia tahu jika aku sudah memutuskan sesuatu pantang untuk goyah meski itu adalah orang tuaku sendiri.
"Bagaimana jika nanti kamu kerja? Leo bagaimana?" Ibu masih saja khawatir terlihat sekali gurat kesedihannya.
Aku dapat merasakan kekhawatirannya. Leo adalah cucu satu-satunya, wajar jika mereka begitu menyayanginya.