Pesta telah usai. Tamu terakhir, seorang bapak bertubuh gempal yang terlalu banyak minum dan terlalu banyak berceloteh, akhirnya diantar ke mobilnya oleh satpam. Kini, keheningan yang membawa kedamaian, justru terasa memekakkan di dalam rumah seluas seribu meter persegi itu. Keheningan itu terasa berat, sarat dengan kata-kata yang tidak terucap dan kebenaran yang tidak terungkap.
Sisa-sisa perayaan tergeletak seperti sisa tsunami yang menerpa ruangan lapang itu. Gelas-gelas kosong dengan noda lipstik, serbet-serbet kusut, dan piring-piring bekas makanan berserakan di atas meja bertaplak linen putih. Beberapa kuntum bunga kantil yang jatuh dari dekorasi, berhamburan di atas lantai marmer Italia yang dingin.
Menyadari malam sudah terlalu larut, Sekar menyuruh para staf kebersihan untuk pulang dan beristirahat bersama keluarga mereka. Sekar mengizinkan mereka membereskan ruangan keesokan paginya.
Kekacauan pada ruangan pesta mudah untuk dibereskan. Namun kekacauan di dalam kepala Pandji, tidak bisa dibereskan semudah itu. Pandji menanggalkan dasi dan kancing kemejanya sambil berjalan menuju kamar tidur utama. Sesampainya disana, Pandji melihat bahwa Sekar sedang duduk di depan meja riasnya yang besar.
Punggung Sekar lurus dan tegap, postur rupawan yang selalu membuat Pandji terpukau. Dengan gerakan yang presisi dan elegan, Sekar melepas kalung berlian dari lehernya, lalu gelang emas, kemudian anting-anting zamrud-nya, lalu meletakkannya satu per satu ke dalam kotak perhiasan berlapis beludru. Suasana begitu hening, kecuali bunyi klik pelan saat kotak itu ditutup.
Pandji berdiri di ambang pintu, memperhatikannya. Cahaya temaram dari lampu meja rias menyinari bahunya yang telanjang, menyoroti keanggunan yang membuat Pandji tidak berhenti jatuh cinta sejak pertama kali bertemu. Namun malam ini, seolah ada jarak yang tak terjembatani di antara mereka.
“Pestanya meriah,” kata Pandji, mencoba memecah kesunyian. Suaranya terdengar serak dan asing di telinganya sendiri.
“Sangat meriah,” jawab Sekar tanpa menoleh. “Semua orang pasti akan membicarakannya selama berbulan-bulan.” Jawabannya sopan, datar, namun dingin, dan menusuk lebih tajam daripada teriakan amarah.
Pandji berjalan mendekat, memeluknya dari belakang, lalu perlahan mengecup bahunya, lalu beralih ke pipinya dan terakhir menuju bibir Sekar. Malam ini, Pandji mengharapkan sebuah hadiah spesial dari Sekar untuk hari ulang tahunnya. Namun tiba-tiba tubuh Sekar menegang dan beringsut perlahan menghindari kecupan Pandji.
“Aku sedang capek, Mas,” Sekar menolak dengan halus. Menghadapi tingkah dan jawab Sekar, raut wajah Pandji mulai berubah kesal.