Sisik Emas

Retno Utama
Chapter #3

Desis Tengah Malam (Part 2)

“Mengapa wajahmu begitu pucat, abdiku? Tidakkah kamu senang bisa bertemu dengan ratumu ini?”

Suara merdu itu mengucapkan setiap kata dengan lembut, namun penuh kuasa. Akan tetapi setiap kali suara itu mengucapkan huruf ‘s’, bunyinya memanjang menjadi desis lembut yang tajam, seperti desis ular yang siap menerkam.

Seiring kalimat yang terucap, terdengar suara gesekan bergelombang dan berirama. Jantung Pandji berdebar begitu kencang saat membayangkan sisik tebal yang menggelincir di atas lantai marmer dingin. Setiap desir gesekan merupakan langkah merayap yang semakin dekat dalam gelap, dan dia hanya bisa berbaring lumpuh, menanti.

Lalu suara gesekan itu berhenti tiba-tiba. Wajah Pandji menjadi seputih kertas saat wangi bunga kantil yang familiar memenuhi lubang hidungnya.

Pandji melirik ke samping sejauh yang otot matanya izinkan, dan melihat pemandangan yang mengerikan dari sudut matanya. Sepasang mata dengan pupil vertikal, dengan cahaya kuning kehijauan, bersinar redup di dalam kegelapan. Sosok pemilik mata tersebut menjulang tinggi di samping pembaringan Pandji, sebuah siluet agung dan mengerikan yang terbungkus bayangan, lebih tinggi dari manusia normal mana pun. Kegelapan di dalam kamar seolah tunduk dan berkumpul di sekelilingnya, menolak untuk menyingkap wujud aslinya, seolah alam pun takut untuk melihatnya.

Sebuah tangan pucat dan ramping terulur dari dalam bayang-bayang itu. Kuku-kukunya panjang dan hitam legam, berkilau seperti obsidian dalam keremangan cahaya bulan. Jari-jari dingin itu bergerak perlahan, tanpa suara, mendekati wajah Pandji yang berkeringat dingin. Pandji ingin berteriak, ingin memalingkan wajah, ingin memberontak, namun tubuhnya tetap bergeming bagaikan penjara yang kaku. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menahan napas saat ujung jari telunjuk yang sedingin es itu berhenti hanya beberapa milimeter dari bibirnya.

“Mengapa kamu gemetar?” suara itu berbisik lagi, lebih dekat sekarang, desisnya terasa seperti embusan angin dingin di kulitnya. “Kamu tidak seharusnya takut padaku. Akulah yang memberimu segalanya.”

Ujung jari itu akhirnya menyentuh bibir bawah Pandji. Seketika, rasa dingin yang menusuk tulang menjalar dari titik sentuhan itu, diikuti sensasi terbakar yang menyakitkan, seolah bibirnya baru saja disundut oleh besi beku. Pandji meringis tanpa suara, matanya terbelalak menahan sakit. Rasa sakit itu seperti sengatan listrik yang menyentak setiap saraf di tubuhnya, dan tiba-tiba, kekakuan di bibir, rahang, dan lidahnya mengendur.

Pandji terkesiap, menghirup udara dengan kasar seolah baru saja muncul dari dalam air. Rasa sakit di bibirnya masih berdenyut, tajam dan nyata.

“Nah, begitu lebih baik,” Sang Ratu berdesis puas. “Aku datang bukan untuk berbincang dengan patung. Aku datang untuk menagih apa yang menjadi hakku.”

Suara Pandji keluar dengan serak dan gemetar, nyaris tak terdengar. “Ratu… hamba mohon… beri hamba waktu…”

“Waktu?” Suara itu terdengar geli. “Aku telah memberimu tiga tahun, Pandji Pradipta. Tiga tahun kamu bergelimang kemewahan yang kuberikan. Tiga tahun kamu menikmati kejayaan yang kamu sebut sebagai hasil kerja kerasmu. Waktu adalah kemewahan yang tidak lagi kamu miliki.”

Pandji memberanikan diri menatap sepasang mata yang bersinar itu. Sebuah gelombang keputusasaan memompa kekuatan ke dalam suaranya. “Kami sudah berusaha, Ratu! Hamba bersumpah! Kami sudah mencoba segalanya! Hamba yakin… hamba yakin sebentar lagi kami akan berhasil.”

Untuk sesaat, keheningan menyelimuti ruangan. Pandji menahan napas, berharap argumennya bisa melunakkan hati makhluk di hadapannya.

Lalu, sebuah tawa pecah dalam kegelapan.

Lihat selengkapnya