Sisik Emas

Retno Utama
Chapter #4

Ritual Pagi

Fajar baru saja merekah di ufuk timur, menyapukan warna jingga pucat di langit Jakarta yang mulai sibuk. Di dalam kamar tidur yang luas dan hening, kegelapan masih berkuasa. Sekar terbangun lima belas menit sebelum alarm digitalnya berbunyi, sebuah kebiasaan yang telah dia latih selama bertahun-tahun.

Biasanya Sekar langsung bangun untuk memulai aktifitasnya. Namun pagi ini, setelah mematikan alarmnya, dia hanya berbaring diam sambil mengatur napas, mendengarkan embusan napas Pandji yang teratur di sampingnya.

Bahkan dalam tidur, Sekar bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh suaminya. Semalam adalah malam yang buruk. Pertengkaran mereka setelah pesta ulang tahun itu terasa lebih dingin dan lebih tajam dari biasanya. Pandji sekali lagi melontarkan usul bayi tabung kepadanya, yang langsung membuat Sekar murka. Sebenarnya bukan usul Pandji yang memancing kemarahan Sekar, melainkan cara Pandji mengungkapkannya.

Pandji menawarkan usul itu layaknya solusi bisnis, alih-alih perjalanan hati. Sekar merasa tertampar oleh kedinginan hati Pandji semalam. Ditambah lagi, mimpi buruk Pandji yang diakhiri dengan teriakan yang merobek malam, membuat sisa tidur mereka dipenuhi kegelisahan.

Sekar memejamkan mata, membiarkan kemarahan dan luka hati dari semalam surut sejenak, digantikan oleh tujuan yang memberinya kekuatan. Dengan gerakan yang senyap dan terlatih, dia menyibakkan selimut tebal dari tubuhnya. Lantai marmer yang dingin menyentuh telapak kakinya, namun dia tidak bergeming. Dia berjalan tanpa suara menuju lemari pakaiannya yang besar, siluetnya yang ramping terlihat kerdil dibandingkan besarnya lemari itu.

Jemarinya yang lentik membuka pintu lemari perlahan, mencegah suara derit pintu membangunkan suaminya. Tangannya membuka laci paling bawah, laci tempat dia menyimpan syal-syal sutra yang jarang terpakai. Di balik tumpukan kain lembut itu, dia mengambil sebuah benda kecil yang dingin dan halus. Kotak pil berwarna putih dengan tujuh kompartemen kecil. Kotak sederhana yang berisi rahasia tergelapnya, sekaligus perisai pelindungnya.

Sekar membukanya. Di dalam kompartemen bertuliskan ‘Rabu’, sebutir pil kecil berwarna merah muda menanti. Tanpa keraguan, dia mengambil pil itu, memasukkannya ke dalam mulut, dan menelannya tanpa bantuan air. Rasa pahit yang samar menyentuh pangkal lidahnya, sebuah pengingat harian akan kebohongan yang terpaksa dia jalani. Ini adalah ritual paginya. Sebuah tindakan pemberontakan yang sunyi demi melindungi dirinya dari trauma yang lebih dalam.

Sekar baru akan menyimpan kotak obat itu ketika terdengar suara dari belakangnya.

“Sayang?” suara Pandji terdengar serak karena kurang tidur.

Sekar segera berbalik, menggenggam erat kotak obat itu di belakang punggungnya, memasang topeng ketenangan yang sempurna di wajahnya.

“Pagi, Mas. Maaf, aku membangunkanmu.”

Pandji perlahan duduk, mengusap wajahnya dengan canggung. “Bukan salahmu. Memang… tidurku tidak nyenyak.” Wajahnya terlihat lelah, lingkaran hitam samar membayangi bawah matanya. Ada ketakutan yang tersisa di sana, sisa dari mimpi buruk yang tidak mau dia ceritakan.

“Semalam kamu teriak kencang sekali, Mas” kata Sekar pelan, berjalan mendekati sisi ranjang. “Mimpi buruk apa sebenarnya?”

“Ah, aku sudah lupa,” jawab Pandji cepat, terlalu cepat. Dia menghindari tatapan Sekar sambil memaksakan senyum tipis. Mau tidak mau, mata Sekar terpaku pada goresan tipis yang sudah mengering di bibir bawah suaminya.

Lihat selengkapnya