Sisik Emas

Retno Utama
Chapter #5

Terkuak

Kepala Pandji berdenyut sakit saat dia perlahan tersadar dari tidurnya. Bukan sakit kepala biasa, melainkan denyutan tumpul di belakang matanya, sisa dari teror semalam yang berdiam dan menolak pergi dari pikirannya. Pandji mengerang pelan, atmosfer kamar tidur terasa berat dan menyesakkan. Tanpa membuka mata, tangannya terjulur ke sisi ranjang, mencari kehangatan dan keakraban tubuh istrinya.

Akan tetapi tangannya hanya menemukan seprai yang dingin dan kosong. Mata Pandji langsung terbuka. Sekar tidak berada di sampingnya. Dia menolehkan kepalanya dan melihat di dekat lemari pakaian mereka yang besar, siluet ramping istrinya, berdiri membelakanginya.

Cahaya fajar yang remang-remang dari jendela menyinari gaun tidur satinnya, membuatnya tampak seperti sosok bidadari dalam keheningan.

“Sayang?” suara Pandji terdengar serak dan lemah.

Sekar sedikit terlonjak kaget, bahunya menegang sesaat sebelum dia berbalik. Wajahnya menampilkan ketenangan yang sempurna, bahkan dihiasi senyum tipis. Namun, Pandji, yang kini mengamatinya dengan kewaspadaan, melihat sesuatu yang lain. Ada kekakuan di postur tubuhnya. Dan tangannya… tangan kanannya terkepal erat di belakang punggungnya, menyembunyikan sesuatu.

“Pagi, Mas. Maaf, aku membangunkanmu,” kata Sekar lembut. Namun sayangnya, nada suaranya tidak memancarkan ketulusan.

Pandji perlahan duduk, mengusap wajahnya dengan tangan kiri sambil memegang kepalanya dengan tangan lainnya. Bahkan gerakan sederhana ini membuat kepalanya semakin berdenyut.

“Bukan salahmu. Memang… tidurku tidak nyenyak.” Pandji bisa merasakan tatapan Sekar, dan dia tahu istrinya melihat kelelahan dan ketakutan yang tersisa di wajahnya.

“Semalam kamu teriak kencang sekali, Mas” kata Sekar pelan, berjalan mendekati sisi ranjang, namun tangannya tetap di belakang. “Mimpi buruk apa sebenarnya?”

“Ah, aku sudah lupa,” jawab Pandji cepat, terlalu cepat. Kebohongan itu terasa asam di lidahnya. Dia menghindari tatapan Sekar, dan saat itulah mata istrinya terpaku pada bibirnya. Pandji tahu apa yang dilihatnya.

“Mungkin bibirku tergigit waktu tidur. Tenang saja, bukan masalah besar,” kata Pandji sambil refleks mengelus bekas luka vertikal di bibirnya. Dari tatapan mata Sekar yang seolah menguliti jiwanya, Pandji tahu bahwa dia harus segera pergi, sebelum pertanyaan lanjutan tiba.

“Aku mandi dulu, takut kesiangan,” Pandji bangkit, bergerak menuju kamar mandi tanpa menunggu jawaban.

Pandji menutup pintu kamar mandi yang berat itu, bunyi ‘klik’ pelan bergema di telinganya. Namun dia tidak segera mandi, melainkan bersandar di pintu, memejamkan mata, jantungnya berdebar kencang. Pandji tahu, Sekar menyembunyikan sesuatu. Keyakinan itu begitu kuat, begitu pasti.

Didorong oleh insting dan kecurigaan, Pandji memutar kunci itu dengan sangat perlahan agar tidak menimbulkan suara, lalu perlahan membuka pintu, menghasilkan celah kecil yang cukup bagi satu mata untuk mengintip keluar.

Pemandangan di hadapannya membuat darahnya terasa dingin.

Sekar, yang mengira dirinya sudah sendirian, telah berbalik kembali ke lemari. Punggungnya tidak lagi tegang. Dia membuka laci paling bawah, dan meletakkan benda kecil dalam genggamannya, kembali ke balik tumpukan syal sutra, lalu menutup laci itu.

Pandji menutup pintu kembali tanpa suara. Apa yang baru saja dilihatnya, membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Jadi, Sang Ratu tidak berbohong. Sekar menyimpan sebuah rahasia di dalam lemari pakaian itu. Rahasia yang muat dalam sebuah laci kecil itu.

Lihat selengkapnya