Hari demi hari berlalu dengan cepat, bagaikan butiran pasir yang berjatuhan dari mulut jam pasir. Hari-hari sepasang suami istri ini, dipenuhi dengan pertunjukan lakon penuh kepalsuan. Setiap gerakan dan kata-kata merupakan hasil kurasi profesional, demi mencegah ledakan pertengkaran. Ironisnya, ledakan adalah hal yang paling Pandji inginkan, namun dia terlalu pengecut untuk memicunya sendiri.
Setiap pagi, Pandji bagaikan sutradara ulung yang mengamati aktris utamanya. Dia akan berpura-pura masih terlelap, sambil mengintip dari balik bulu matanya, menyaksikan ritual pagi Sekar. Diam-diam Pandji mengamati Sekar bangkit dalam diam, berjalan mengendap ke lemari, lalu membukanya dengan senyap.
Suara ‘klik’ pelan dari kotak pil yang dibuka, disusul dengan gerakan Sekar yang menelan pil dengan segelas air, membuat jantung Pandji berdebar kencang. Ketakutan bahwa Sekar akan menyadari perbedaan dari pil yang ditukarnya, membuat telapak Pandji dingin karena gugup.
Pandji tidak sekadar gugup. Ketegangannya bagaikan telur di ujung tanduk yang bisa bergulir jatuh setiap saat. Setiap pagi merupakan siksaan baru baginya. Akankah Sekar berhenti sejenak, dan memicingkan mata mengamati pil itu? Akankah Sekar merasakan tekstur atau rasa yang sedikit berbeda? Akankah dia curiga? Pandji mengamati setiap detail: cara Sekar mengambil pil dengan jemarinya, cara dia memiringkan kepalanya, cara dia meminum air.
Namun setiap kali Sekar menelan pil merah muda itu tanpa curiga, sebagian dari diri Pandji bersorak dalam kemenangan yang sunyi, sementara sebagian lainnya mengerang dalam rasa bersalah yang pekat.
"Pagi, Mas," sapa Sekar setiap pagi, senyumnya terpasang dengan sempurna, seolah hubungan mereka baik-baik saja.
"Pagi, Sayang," balas Pandji, memaksakan senyumnya sendiri, disusul dengan kecupan yang di kening yang kini terasa canggung.
Kepalsuan inilah yang membuat dirinya muak. Pandji muak pada Sekar yang bisa bersandiwara dengan begitu mudah, menyembunyikan pil kontrasepsi yang entah berapa tahun telah dia konsumsi, di balik wajah malaikatnya.
Pandji bertanya-tanya, bagaimana bisa wanita yang dia cintai ini memiliki dua wajah yang begitu berbeda? Wajah malaikat yang dia nikahi, dan wajah pembohong licik yang kini dia lihat setiap hari. Kemampuannya untuk tersenyum, untuk bersikap normal setelah pengkhianatan sebesar itu, membuat Pandji merinding. Bakat yang demikian mengerikan. Bakat yang, ironisnya, kini harus Pandji kuasai, demi keselamatan jiwanya sendiri.
Dan pada akhirnya, Pandji juga muak pada dirinya sendiri yang begitu pengecut, tidak berani menegur kebohongan istrinya, dan terpaksa ikut bermain dalam sandiwara baru yang dia ciptakan.
Namun Pandji rela menggadaikan harga dirinya sebagai pria. Harga diri? Apa artinya harga diri bagi seorang budak? Itu adalah nasib yang menunggunya. Setiap menutup mata, Pandji bisa merasakan napas dingin Sang Ratu di tengkuknya, dan tawa merdunya yang bagaikan gesekan rebab, yang selalu mengingatkannya bahwa waktu tidak pernah menunggunya. Tiga bulan. Dibandingkan dengan membersihkan lantai istana gaib dengan lidahnya dalam keabadian, menjadi pengecut di rumahnya sendiri selama beberapa minggu adalah harga yang sangat murah untuk dibayar.
Ketegangan tidak hanya hadir di kamar tidur saja. Meja makan yang dulu penuh tawa kini menjadi panggung interogasi hening yang hanya berisi jawaban singkat iya dan tidak. Setiap hidangan yang tersaji adalah sebuah tes. Setiap keluhan kecil adalah sebuah petunjuk. Pandji perlahan berubah menjadi pengamat yang obsesif, layaknya seorang peneliti yang menantikan tanda-tanda kehidupan baru.
Pandji bahkan mulai memperhatikan hal-hal kecil yang konyol. Apakah Sekar pergi ke kamar mandi lebih sering? Apakah dia mengeluh punggungnya sakit? Dia mencatat setiap keluhan kecil, setiap perubahan pola makan, menyusunnya dalam pikirannya seperti seorang jaksa yang membangun sebuah kasus.
"Kamu nggak makan salmon-nya, Sayang? Tumben," tanya Pandji suatu malam, nadanya dibuat setenang mungkin, seperti obrolan biasa.
Sekar, yang baru saja menyisihkan potongan ikan itu, sedikit terkejut. Dia menatap Pandji sesaat, seolah sedang mempertimbangkan jawaban yang sesuai. "Lagi nggak selera aja, Mas. Baunya agak amis."