Sekar berdiri mematung di depan pintu kamar mandi, jubah mandinya yang masih basah dan sejuk, menempel di kulitnya, mendinginkan tubuh dan hatinya. Dia menggenggam erat kotak pembalut di tangannya, kotak yang membuat wajah Pandji mengeras dan dipenuhi dengan kekecewaan.
Isak tangis yang baru saja dia redam di bawah pancuran air, kini mengancam untuk kembali, namun tertahan oleh rasa takut yang jauh lebih besar. Bulu kuduk sekujur tubuhnya berdiri semua, ketika dia teringat akan wajah Pandji saat Sekar keluar dari kamar mandi.
Sekar teringat ketika suaminya berjalan melewatinya, sengaja menyenggol bahunya dengan kasar. Dan kemudian, suara pintu kamar mandi yang dibanting.
Sekar tidak tahu sudah berapa lama dia berdiri di sana, gemetar, di antara rasa takut dan kesedihan karena menstruasi yang dialaminya. Sekar sedih bukan karena dia tidak berhasil hamil bulan itu. Bukan itu. Perubahan Pandji-lah yang membuat Sekar menangis ketakutan pagi ini, ketika dia melihat bercak merah pada pakaian dalamnya.
Sekar tidak bisa membayangkan apa yang akan Pandji lakukan terhadap dirinya yang tidak bisa memberi anak padanya.
Sekar kini duduk di tepi ranjang, menunggu. Menunggu badai yang dia tahu pasti akan datang.
Pintu kamar mandi kembali terbuka, suaranya pelan, tidak seperti dibanting barusan. Namun suara derit pintu yang pelan membuat Sekar terduduk tegak dengan tegangnya.
Perlahan Pandji melangkah keluar. Dia telah berganti pakaian, mengenakan kaus rumah yang lembut. Dengan rasa takut, Sekar menengadahkan kepalanya, melihat wajah Pandji sekilas.
Wajah Pandji tidak lagi mengeras karena amarah. Sebaliknya, wajah itu terlihat... sedih. Wajah Pandji begitu pucat, lelah, dan dipenuhi keputusasaan yang begitu dalam hingga Sekar refleks merasa iba.
Ini adalah reaksi yang tidak pernah dia antisipasi. Dia sudah mempersiapkan diri untuk teriakan, untuk kemarahan, untuk tuduhan. Sejujurnya, Sekar tidak siap untuk ini.
"Mas, kamu kenapa?" bisiknya ragu.
Pandji tidak menjawab. Dia berjalan ke arah Sekar dengan langkah berat. Sekar sedikit beringsut mundur di atas ranjang, tubuhnya menegang, bersiap untuk konfrontasi.
Tapi Pandji tidak membentak. Dia berhenti tepat di depan Sekar, menatap istrinya dengan tatapan yang begitu terluka, sebelum akhirnya dia melakukan hal yang paling tak terduga.
Dia berlutut.
Kedua lututnya menyentuh lantai marmer yang dingin dengan suara gedebuk pelan. Pandji menundukkan kepalanya, bahunya yang biasanya tegap kini terkulai.
"Mas Pandji, apa yang kamu..."
"Maafkan aku," suara Pandji keluar, serak dan pecah, berbisik nyaris tak terdengar.
Sekar membeku. Telinganya pasti salah dengar.