Berulang-ulang sudah perang dari generasi ke generasi berlaku. Dari kepiluan, pengkhianatan, kebencian, sampai pengampunan mewarnai gegap gempita kehidupan.
Ilmu Aura sebagai bukti besar eksistensi seluruh umat manusia di dunia ini. Pun, Aura sebagai kekuatan yang tidak sekadar mematuhi hukum alam telah dimanfaatkan guna menciptakan kreasi magis dalam berbagai hal, bahkan sanggup mengontrol hukum alam itu sendiri.
Ilmu tersebut memberikan potensi baru, konflik baru hingga realitas yang tak pernah diimajinasikan sebelumnya.
Umat manusia telah mampu memasuki suatu peradaban mutakhir dan pencapaian lain dalam segala bidang. Termasuk pencapaian imajiner yang hebatnya menjadi kenyataan.
Pertarungan demi kekuasaan, demi cinta, demi kehormatan, demi tanah kelahiran atau pertarungan demi kebebasan sudah tak lagi tabu, dan nyaris memberikan kenyataan yang paradoksal. Atau malah menjadi 'infinity'; nirbatas.
Kedamaian jelas menjadi perdebatan yang kontroversial. Dibeberapa perkara kedamaian justru dianggap kebodohan ... utopis.
Umat manusia yang terlahir dengan ilmu tersebutlah dilabeli Pewaris Aura. Para Pewaris Aura seketika dicap sebagai umat manusia pembawa petaka. Kendati dengan demikian pula merekalah yang mengatur sistem dan hukum-hukum tatanan dunia.
Dan semuanya berlangsung sejak dahulu hingga saat ini ....
***
Perang dunia generasi ke 69 masih panas berlangsung. Empat dari delapan bangsa-bangsa Aura telah dikuasai bangsa Selatan.
Pemerintah bangsa Selatan menetapkan amendemen baru yang lebih otoriter. Dan seketika berlanjut menjadi sistem yang totaliter. Salah satu dampaknya wajib militer. Andai kata seseorang nekat menolaknya, maka jangan heran jika nyawa di badan legal untuk dicabut.
Kala itu, udara bertiup lembut dengan hawanya yang menegangkan. Mencekam. Betapa tidak, bukan hanya faktor perang yang memengaruhi suasana, melainkan, tepat di sanalah, di dalam ruang bawah tanah, seorang wanita muda tengah berjuang setengah mati demi melahirkan buah hati pertamanya.
Ruangan terang dan bersih. Layak untuk disebut kamar salin. Dindingnya bercat hijau dengan lantai dari marmer yang tampak mahal juga berkilau.
Wanita berambut hijau sebahu itu tentu tidak sendirian. Suaminya yang telah bersetelan zirah perang hadir menyemangati, lebih lagi ia mendoakan. Berdiri khawatir di samping kanan kasur istrinya seraya menggenggam tangannya begitu erat.
Sang bidan terus memotivasi dan memberikan instruksi krusial supaya semua usaha ini berakhir manis. Rintihan bergaung memenuhi seisi kamar, erang dari calon 'ibu' itu tidak terbendung lagi. Segala sesak dan rasa sakit bagaikan memaksanya merintih susah payah.