Aku mempunyai kakak perempuan yaitu Kairena Nienka. Kami hanya terpaut satu tahun. Kami seperti anak kembar. Kemanapun selalu bersama-sama. Kami keturunan Jepang. Walaupun wajahku lebih Indonesia. Wajahku lebih manis daripada Kak Kairena. Sedangkan Kak Kairena lebih cantik. Tetapi warga-warga disini lebih banyak yang bilang jika aku lebih cantik dari Kak Kairena.
Mama sudah lama meninggal. Dia meninggal saat melahirkanku ke dunia ini. Ayah kurang baik kepadaku. Ayah berpikir akulah yang menyebabkan Mama meninggal. Tapi,ya sudahlah. Memang benar,Mama meninggal ketika melahirkanku. Tetapi cara Ayah memandangku salah. Dia seharusnya tak menganggap anaknya sendiri sebagai pembawa petaka.
Banyak warga yang mengira aku anak pungutan karena tidak mirip dengan Ayah. Semua warga belum pernah melihat Mama. Kami pindah ke desa ini setelah Mama meninggal. Aku tahu Ayah kesusahan mengurus kami berdua. Kakakku baru berusia satu tahun,sedangkan aku baru saja lahir. Ayah menjadi aneh ketika ditinggal pergi oleh Mama. Ayah lebih temperamen. Dia marah dengan hal-hal yang kecil. Salah satunya,sore hari ini.
Aku sedang bermain dengan kak Kairena. Kami bermain congklak. Permainan Indonesia. Menurut kami permainan Indonesia sangatlah menyenangkan. Walaupun sederhana tetapi tetap saja menguras tawa. Sore itu kami bermain di gubuk belakang rumah kami. Sebenarnya Ayah melarang kami kesana. Tetapi kami melanggarnya. Kami hanya ingin mengetahui kondisi gubuk itu. Semenjak kami pindah ke sini. Kami belum pernah melihat keadaan belakang rumah kami.
Ternyata hanya kebun pohon pisang yang layu dan tanah yang pecah-pecah. Dan diujung kebun ada sebuah gubuk yang berdiri. Sudah reyot sebenarnya. Tetapi tidak akan ambruk jika kami duduki.
"Kita main disini saja,Kiren. Pasti seru." Kak Kairena duduk sambil menaruh congklaknya diatas gubuk.
"Tetapi Ayah melarangnya. Bagaimana jika kita dipukuli seperti kemarin? Aku tidak mau. Aku pergi saja." Aku melangkah pergi.
"Hei. Tak apa,Kiren. Aku yang akan menghadapi Ayah jika dia marah."
Aku membalikkan badan. Kembali ke gubuk.
"Serius?" Aku bertanya.
Kak Kairen mengangguk.
Baiklah! Kita mulai permainan ini. Kami mulai menata perlengkapan yang akan digunakan untuk bermain. Membagi biji congklak sama rata ke berbagai lubangnya.
"Kita harus mengundi siapa yang akan main duluan. Kita batu gunting kertas saja."
Aku mengangguk. Menyodorkan tanganku dan mulai mengundi.
"Kau kalah,Kak. Lihat. Kau gunting sedangkan aku batu. Aku duluan." Aku tertawa sambil mengambil sejumlah biji di salah satu lubang.
"Baik..baik" Kak Kairena cemberut. Tetapi hanya sementara.
Baru awal saja kami bermain,sudah tertawa terpingkal-pingkal karena biji yang kubawa jatuh semua. Tanganku tidak muat menampungnya. Kami tertawa bersama. Indah sekali. Seperti tak ada beban yang mengganjal.
"Mari kita kembali,Kak. Sudah hampir gelap." Aku membereskan peralatan bermain. Kak Kairena membantuku. Kami sudah turun dari gubuk. Aku melangkah dengan riang meninggalkan gubuk. Berjalan menuju rumah.
Tiba-tiba saja ada yang menyeret Kak Kairena.
"Kiren! Kiren! Tolong! Panggil Ayah!!!" Kak Kairena berteriak. Berpegangan pada kaki gubuk. Aku langsung menoleh.