‘SEMPURNA’ adalah kata yang diucapkan cewek-cewek di SMA-ku, mayoritas dan bukan semuanya, untuk menggambarkan sosok cowok yang sedang dipanggil kepala sekolah saat upacara itu. Lihat saja semua cewek, maksudku sebagian besar, memusatkan pandangan mereka seolah terkena air mata duyung pada lelaki yang berdiri di tengah lapangan upacara. Yang membuat cewek-cewek itu terkagum-kagum bukan karena penghargaan yang baru saja didapatnya dari lomba karya tulis ilmiah atau prestasi lain – dalam bidang akademik, olahraga, maupun seni – melainkan penggambaran keseluruhan hidup dan fisiknya. Namun aku enggak berpikir begitu, karena selama hampir dua tahun kami sekolah dan seangkatan – enggak pernah sekelas – aku masih penasaran dengannya. Apakah dia sendiri memang sempurna?
Wulan, cewek di sebelahku juga teman sebangkuku sejak kelas 10, adalah mantan dari cowok ‘sempurna’ itu. Dia tetap mengagung-agungkan mantannya. Contohnya, lihat saja sejak nama cowok itu disebut kepala sekolah saat upacara, dia terus membangga-banggakan prestasi dan wajah tampan pria berambut belah kiri itu; kata Wulan loh ya.
Permasalahannya bukan karena pria bersorot mata sayu itu sedang melajang, tapi mantan-mantan cowok itu – sekitar belasan cewek – sama halnya dengan Wulan yaitu tetap terkagum dengan bekas pangerannya. Entah ada virus apa di otak mereka; yang jelas bukan virus Corona yang mewabah beberapa tahun lalu. Saat mereka kutanya masing-masing mengapa masih begitu terpesona pada pemilik rahang tegas itu, mereka menjawab dengan jawaban yang sama, “Dia sempurna.”
Jawaban macam apa itu? Padahal mereka yang memutuskan hubungan dengan si kulit kuning langsat. Akan tetapi para mantan ini tetap mengagumi tanpa sakit hati bukan karena ingin menyambungkan hati lagi pada manusia yang tak pernah setia dengan gaya rambut tersebut – terkadang ada gaya rambutnya yang mirip denganku karena rambutku sependek rambutnya. Mereka juga tak mengganggu jika pemilik mata cokelat muda mempunyai tambatan hati baru. Itu yang aku dengar langsung melalui obrolan santai dari setiap bekas kekasih Bagus.
Bagus itu panggilannya, diambil dari nama depannya: Bagus Astra Indra Kusuma. Jadi nama panjangnya bisa disingkat ‘BAIK’. Pintar juga yang memberi nama cowok bertubuh atletis itu.
Aku tahu badannya berotot bukan dari ‘katanya’. Kulihat sendiri dengan kedua bola mataku. Tanpa sengaja loh ya. Kala itu dia membuka kaus tipisnya di pinggir lapangan agar badannya diurut karena terkilir saat melawan tim basket kelasku di putaran final yang akhirnya dimenangkan oleh kelasnya dan cewek-cewek termasuk dari kelasku berteriak histeris bahagia.