SUNGGUH, aku sulit berkonsentrasi di kelas. Bu Asti menjelaskan tentang Hukum III Newton: aksi-reaksi, tapi otakku berada dalam kelembaman Hukum I Newton. Pikiranku berputar-putar konstan pada Bagus.
Saat istirahat, aku menarik Wulan untuk segera ke kantin. Tak mampu kutahan amukan dalam lambungku. Kupesan soto ayam dan es teh, sedangkan Wulan juga soto ayam namun ditemani es jeruk.
Wulan bercerita tentang peserta olimpiade fisika yang diisi oleh nama-nama baru dan satu nama kakak kelas yang tahun lalu juga ikut fisika serta astronomi. Dia menjelaskan kalau Rabu baru mulai bimbingan. Dia pun menanyaiku kapan aku mulai bimbingan. Jawabku melalui pundak kiri yang kunaikturunkan sekali.
“Nanti siang sudah mulai,” jawab suara nada rendah di belakangku.
Dia? Ada apa dia di sini?
Wulan seketika menundukkan wajahnya dan menatap mangkuk sotonya yang bersisa beberapa taoge.
“Aku tadi dapat pesan dari Bu Gina. Karena aku tak punya nomormu, jadi aku cari-cari kamu di kelas hingga ke sini,” lanjut Bagus.
“Oh, begitu,” sahutku.
Hening.
Aku menatapnya dan dia menatapku dengan bibir merona menahan kata.
Kulirik Wulan. Dia menaikkan alis tipisnya dan melototkan mata mungilnya ke tanganku. Apaan sih itu anak? Dia dirasuki apa? Oh, atau karena di hadapannya – di hadapanku pula – ada mantannya? Mata Wulan mengguling lalu kembali menekan ke arah tanganku. Apa sih? Soto? Ponsel? Tangan?
“Ya sudah, sampai bertemu nanti ya di ruang biologi.” Bagus hanya menyisakan aroma jeruk nipis dan jahe tanpa ada lagi penampakannya.
“Kenapa sih, Lan? Salting begitu ada mantan,” ujarku yang dibumbui tawa.
“Dia itu kasih kode minta nomormu,” jawabnya.
“Ha?” Bodoh sekali aku. “Kenapa dia tak minta langsung sih?”
“Kamu nih. Nanti juga kamu paham setelah banyak mengenalnya. Bukan hanya dirinya yang kaulihat saat ini,” ucap yang tentunya bukan jawaban yang kuinginkan.
***
Sekolah hari itu usai. Satu per satu siswa keluar kelas. Wulan pun pamit. Jadilah aku sendiri di kelas. Kuambil ponselku untuk sekadar berselancar di media sosial melihat tren di Twitter.
“Mau bareng?”
Entah mengapa aku menoleh kanan-kiri, padahal aku sudah tahu tak ada manusia lagi di kelas ini selain aku – dan dia yang memenuhi pintu kelas. Lalu kubalas ajakannya dengan senyum keraguan. Maksudku kegugupan. Kusamperi dia yang masih menghalangi pintu.
“Ayo!” ajakku.
Dia tersenyum lebar dan terkatup, membuat ujung bibir yang runcing ke atas semakin jelas seperti tanduk kerbau – dalam maksud positif.