SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #1

PERJALANAN MALAM

Ciiiitt!

Jeritan rem yang membuat roda dan jalan aspal beradu tiba-tiba terdengar dari sebuah mobil Katana yang kap bagian atasnya terbuka. Mobil yang semula melaju kencang itu, sejenak oleng karena pedal rem yang diinjak mendadak sewaktu ada seorang kakek yang tiba-tiba memotong jalan sembarangan.

“Woy, Kek! Mau cari mati ya, nyeberang jalan gak pakai lihat-lihat!” teriak seorang pemuda yang duduk di belakang kemudi dengan perasaan geram. Wajah dongkol jelas tergambar di raut mukanya.

Begitu pula dengan 2 gadis dan 2 pemuda lain yang jadi penumpangnya. Semua juga nampak geram bercampur degdegan lantaran mobil yang nyaris menabrak orang. Tak ayal 2 gadis yang duduk di jok tengah itu sampai mengelus-ngelus dada dengan napas tak beraturan.

“Alhamdulilah, gak sampai nabrak,” ujar gadis yang mengenakan kerudung warna merah muda.

“Lagian itu kakek malam-malam nyeberang jalan nyelonong aja,” sahut gadis beramput lurus yang duduk di sebelah kanan gadis berkerudung itu.

Dengan bantuan sorot lampu depan mobil, semua menatap ke arah si kakek yang kini berhenti tepat di depan mobil. Dalam sorotan lampu mobil yang agak temaram, si kakek nampak menakutkan. Tubuhnya yang kurus kering berbalut pakaian compang-camping menampakkan dirinya seperti orang gila atau gelandangan yang sedang keluyuran. Ditambah lagi rambutnya yang panjang awut-awutan, makin menambah seram bagi yang menyaksikan.

“Maaf,” ujar kakek itu dengan suara serak parau.

Hah! Serta merta kelima anak muda itu bergidik ngeri saat si kakek meminta maaf sambil menoleh ke arah mereka. Sedikit pun wajah si kakek tak kelihatan lantaran tertutup oleh rambutnya yang riap-riapan.

“Rudi, cepet tancap gas, Rud! Aku makin merinding lama-lama di sini,” kata Nuril Hidayah yang berjilbab merah muda seraya memukul-mukul pundak Rudi dari belakang.

“Iya Rud, hiii … kakek itu nyeremin,” sahut Nadya tak kalah cemasnya.

Dengan langkah gontai kakek itu melangkah ke tepi jalan. Angin malam yang tiba-tiba berhembus membuat ujung rambut kakek itu menari-nari. Gerak pelan rinai rambutnya seolah sebuah lambaian untuk mengundang para penghuni alam kegelapan.

Hiiih!

Kelima pemuda yang berada di mobil itu bergidik ngeri. Angin malam yang semula menggoyangkan ujung rambut kakek tadi, kini bertiup lirih menggoyangkan pucuk-pucuk dedaunan yang sebelumnya terdiam. Pohon-pohon besar yang berjajar di sepanjang tepi jalan itu, jadi nampak menyeramkan.

Keberadaan pepohonan itu terlihat bagai sepasukan raksasa yang siap menanti mangsa. Batang dan dahannya yang berwarna kecoklatan seperti tangan-tangan setan yang sedang terulur hendak menjangkau mereka berlima.

Oh!

Mereka semakin merinding jadinya ketika angin yang bertiup dingin itu mulai membelai tengkuknya. Perlahan bulu kuduk mereka berdiri seiring nyanyian binatang malam yang terdengar dari balik rerimbunan.

Keadaan benar-benar tak bersahabat. Jalanan yang biasanya ramai, sekarang tampak lengang. Kesunyian datang mencekam. Mengungkung mereka dalam rasa ketakutan yang teramat dalam.

Lihat selengkapnya