Oh!
Kelopak mata Nuril semakin terbelalak lebar. Darah yang terus mengucur dari setiap bagian tubuh bayi yang dibetot paksa dan dimakan oleh ibunya, kini mulai menggenang di lantai kamar toilet. Perlahan tapi pasti genangan darah itu mulai merembet mendekati kaki Nuril.
Seketika bau anyir menyengat menusuk lubang hidung gadis itu. Cairan merah pekat dan kental itu tanpa ampun lagi membasahi mata kakinya. Ingin rasanya ia memalingkan muka dari kengerian yang terpapar di hadapannya. Namun, sekujur tubuhnya terasa kaku. Tak dapat digerakkan. Jangankan untuk berpaling, sekedar berkedip saja ia ta sanggup. Seakan ada satu kekuatan yang menahan tubuhnya.
Kengerian yang sama juga dirasakan oleh keempat temannya yang masih menunggu di mobil. Saat mereka melihat ke angkasa, bulan yang semula bersinar terang benderang tiba-tiba saja tenggelam di balik awan hitam. Tak lama kemudian disusul oleh munculnya segerombolan kelelawar yang terbang rendah melintas di atas kepala mereka sambil menjeritkan suaranya yang khas.
Setelah melintas di atas mereka, pasukan kelelawar itu mengarah ke timur. Dan begitu berada tepat di atas toilet di mana Nuril berada, pasukan kelelawar itu berputar mengitari tempat itu tiga kali. Baru kemudian melesat ke utara menuju kawasan perkebunan kopi yang nampak gelap gulita.
Hiii! Serentak mereka bergidik ngeri. Masing-masing segera merapatkan kerah jaketnya.
“Ton, coba kau cek kondisi Nuril! Kok tiba-tiba saja aku merasa gak enak ya,” ujar Rudi yang masih terdiam di belakang kemudi.
“Bener Ton, aku juga takut dia kenapa-napa,” sahut Nadya dengan wajah cemas.
Tanpa berkata-kata lagi Toni melompat turun dari mobil. Disusul pula oleh Nadya.
“Jangan lupa bawa senter, Ton!” saran Dandi sebelum Toni dan Nadya melangkahkan kaki.
“Di dalam tasku selalu ada senter kok.” Nadya menyahut.
Meski dengan perasaan takut-takut, Nadya melangkah diikuti oleh Toni. Sambil beriringan mereka menapaki jalan setapak yang membentang di tengah rerumputan. Sementara malam terasa semakin mencekam. Angin yang tadinya bertiup semilir menggoyangkan pucuk-pucuk daun, seketika berhenti lantaran terpukul sepi. Bulan juga masih bersembunyi di balik awan gelap.
Di tengah langkah, Toni dan Nadya berhenti sejenak. Mereka menoleh ke belakang seolah minta tambahan keberanian dari rekannya. Tapi Dandi dan Rudi tak ada yang bersuara. Mereka juga terdiam dalam kungkungan rasa yang mencekam.
Dengan isyarat tangannya Toni mengajak Nadya untuk bergegas melanjutkan langkah. Hati cowok itu makin tak karuan saat melihat lampu di toilet yang tampak semakin suram.