SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #5

MOGOK

“Rudi, Rud! Cepat tancap gasnya sebelum perempuan pemakan bayi itu mengejar kita! Cepat, Rud! Cepaaat!” ceracau Nadya sembari menatap nanar ke arah toilet.

“Iya, Rud! Cepat, Rud! Perempuan kanibal itu sudah di ambang pintu dan menatap kita! Cepatlah, Rud!” teriak Toni sama gugupnya.

Meski tak dapat melihat apa-apa seperti yang dikatakan temannya, Dandi segera membuka pintu mobil. Ia ulurkan tangan guna membantu Nadya yang sedang berupaya menaikkan Nuril yang masih setengah tak sadar.

Rudi sudah pula menghidupkan mesin mobilnya. Begitu Nadya dan Toni sudah naik, ia pun bergegas tancap gas seperti yang mereka minta. Kali ini jalan yang harus mereka lalui justru semakin menanjak dan berkelok tajam. Dalam suasana yang gelap itu, sama sekali tak terlihat adanya pemukiman. Dan kanan-kiri jalan hanya terlihat pepohonan yang tampak seperti gundukan-gundukan menghitam.

Lampu depan mobil yang biasanya menyala terang, sekarang seolah kehabisan daya. Dalam pekatnya suasana, sorotan lampu itu hanya mampu menjangkau sejauh 10 meter saja. Selebihnya hanya kegelapan yang berkuasa.

Sesekali Rudi harus pula menginjak pedal rem secara mendadak ketika seekor binatang malam melintas memotong jalan yang dilaluinya. Maklum yang sedang mereka lalui kini adalah area perkebunan kopi. Banyak binatang luwak yang sedang mencari makan di malam hari.

Ditambah lagi nyanyian burung hantu yang kerap terdengar dan terasa sangat mengganggu. Meski tak terlihat adanya perempuan pemakan bayi yang mengejar, tapi mau tak mau, bulu kuduk mereka tetap saja berdiri. Terlebih ketika kepak sayap kelelawar berukuran besar terbang rendah dan nyaris menyambar kepala mereka. Suasana malam dirasakannya semakin tak bersahabat.

Kehadiran binatang-binatang malam itu membuat mereka pada bungkam. Hanya gemuruh dalam dadanya saja yang kedengaran lantaran jantung mereka yang berdegup lebih kencang.

Sementara bulan yang timbul tenggelam di balik awan seakan sengaja mentertawakan mereka yang sedang dicekam ketakutan. Tak ayal dalam hawa pegunungan yang dingin, tubuh mereka justru keringatan. Keringat dingin bercucuran yang semakin menciutkan nyali selama perjalanan.

“Rud, masih jauh ya perkampungan penduduknya?” Nadya bertanya lirih ketika laju mobil mulai memasuki hutan karet di sisi kanan jalan.

Barisan pohon karet yang berdiri angker di lereng terjal tampak seperti barisan raksasa yang sedang menunggu mangsa. Sedang di sisi kiri jalan membentang tebing tinggi dipenuhi pohon kopi yang sedang menebarkan aroma bunganya yang wangi. Aroma wangi yang justru semakin menciutkan nyali.

“Entahlah Nad, dalam kondisi gelap begini aku tak dapat memastikan,” sahut Rudi sambil tetap konsentrasi pegang kemudi.

“Iya, sepertinya perjalanan kita kali ini memang terasa lebih jauh dari yang pernah kita alami,” sahut Toni seraya masih memegangi Nuril yang lemas.

“Tapi kalau sudah memasuki hutan karet itu berarti kampung Bedengan sudah gak jauh lagi,” timpal Dandi yang sedari tadi membisu.

“Syukurlah,” sahut Nadya dengan napas lega.

Setelah melewati lima tikungan tajam dalam posisi menanjak, jalan beraspal yang berlubang-lubang itu habislah sudah. Kini mobil itu memasuki jalan makadam dengan batu-batu besar yang mencuat dari dalam tanah. Batu-batu hitam itu tampak bagaikan barisan kepala mayat yang baru bangkit dari kuburnya.

Tak ingin terperosok ke dalam jurang yang membentang di sisi kiri jalan yang menikung dan menanjak tajam itu, Rudi buru-buru memperlambat laju mobilnya. Meski begitu tetap saja mobil itu terguncang-guncang akibat jalan makadam yang tak ada ratanya. Kondisinya sama persis dengan melewati sungai yang sedang kering. Sedikit lengah, mobil sudah pasti terpelanting.

Gleg!

Setelah bergoyang dengan keras tiba-tiba mesin mobil itu terhenti tepat di bawah sebatang pohon kluwih yang berdiri tegak di kiri jalan.

Lihat selengkapnya