Lampu penerangan kampung Bedengan yang hanya bersumber dari kincir air yang berkapasitas kecil semakin menonjolkan keadaan sepi dari suatu daerah yang terpencil. Kondisi itu masih diperparah lagi dengan tebalnya kabut dari area perkebunan kopi yang mengitari kampung di atas perbukitan itu. Dari tikungan Kenaren tempat kelima anak muda itu berada, kampung Bedengan hanya terlihat seperti titik-titik api yang berpendar redup.
Malam memang belum terlalu larut. Tapi bagi kampung yang jauh dari hingar bingar kehidupan kota itu, sepinya sudah melebihi suasana dini hari. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya suara nyanyian binatang malam yang terdengar dari segenap penjuru.
Kabut yang membawa udara basah semakin menebal. Hawa dingin tak mampu lagi ditepis oleh jaket tebal yang dikenakan kelima remaja itu. Mereka memanggil seraya menatap pendar cahaya yang berasal dari rumah warga Bedengan.
Pandangan Nadya terpusat ke gerbang kampung Bedengan masih berjarak satu kilometer dari tempatnya berdiri. Rudi masih berusaha mengutak-utik mesin mobilnya agar kelistrikannya mau menyala. Sementara Toni dan Dandi hanya mengawasi Nuril yang masih belum sadarkan diri.
Dalam gelap malam yang mencekam itu, tanpa mereka sadari, sebentuk tangan hitam berukuran besar menyembul dari dalam tanah tepat di dekat kaki-kaki mereka. Bentuk tangan yang kulit dan dagingnya sudah rusak itu nampak menggapai-gapai berusaha meraih kaki mereka. Jari jemari yang sebagian tinggal tulang saja itu, mencuat dari dalam tanah dengan gerakan liar.
Kini dua tangan dari alam kegelapan yang menyeruak di bawah kaki Nadya sudah berhasil menjamah mata kaki gadis itu. Dengan gerakan menyerupai tumbuhan menjalar, tangan-tangan busuk itu merangkak kian ke atas.
Huh!
Merasa geli, Nadya menghentakkan kakinya. Ia mengira ada seekor binatang melata yang sedang merambati kakinya. Perlahan ia menundukkan kepala guna memeriksa apa yang ada di kedua kakinya. Begitu ia menunduk, sepasang tangan dari alam kegelapan itu serta merta masuk kembali ke perut bumi. Gerakannya gesit bagaikan seekor belut menyusup ke dalam lumpur.
Begitu pula Rudi, Toni, dan Dandi, mereka juga menghentakkan kaki ketika merasa ada sesuatu yang merambati kakinya. Tapi ketika diperiksa tak terlihat apa-apa. Tangan-tangan busuk itu telah menarik diri dan kembali ke dalam tanah sebelum kepala mereka tertunduk untuk memeriksanya.
Plak!
Nadya menampar kakinya dengan keras ketika kembali terasa ada sesuatu yang merambati kakinya. Sepasang tangan rusak yang semula sudah mencengkeram pangkal tungkainya, buru-buru melepas dan kembali masuk tanah.
“Eeehh … sudah sampai di manakah kita, kok aku merasa dingin banget, ya?” rintih Nuril yang tiba-tiba siuman sambil menggeliat perlahan.
Serentak Nadya dan Toni menghampirinya ke dalam mobil.
“Oh syukurlah Nuril, kau sudah sadar,” kata Nadya dengan mata berbinar.