SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #8

BULAN TIMBUL TENGGELAM DI BALIK AWAN

Tembok gapura yang membentang di sisi timur pintu gerbang kampung Bedengan dengan relief tiga lelaki dan dua perempuan pemetik kopi nampak seperti barisan hantu di malam yang sungi senyap itu. Jalan setapak yang tepat ada di depan tembok itu, yang merupakan satu-satunya akses menuju ke dusun Genjong, dalam kegelapan malam itu terlihat bagai mulut gua yang menyimpan aura mistis tersendiri. Terlebih saat angin lembab bertiup semilir dari area perkebunan teh Sirah Kencong yang ada di puncak bukit sisi utara, kampung Bedengan serasa makin dalam menyimpan misterinya.

Akh!

Rudi, Toni, dan Nuril kaget bukan kepalang begitu langkahnya sampai di hadapan tembok gapura yang terkesan angker itu. Serta merta bulu kuduk mereka berdiri merinding saat menatap relief yang terpampang di depan mata. Replika manusia itu seolah bernyawa dan sedang menatap mereka dengan pandangan curiga.

Sejenak mereka berhenti dan saling merapatkan tubuh. Dengan dada yang bergemuruh hebat akibat jantung yang berdegub lebih kencang dari biasanya, serentak mereka berpaling muka dari tatapan relief pemetik kopi itu. Mata mereka beralih menatap hamparan jalan berbatu yang makin menanjak.

Selanjutnya setelah mengayunkan kaki 3 langkah dari gapura menyeramkan itu, barulah mereka mendongak ke deretan rumah petak penghuni kampung Bedengan yang tak lebih dari 20 rumah itu.

Oh!

Semua pintu rumah sudah tertutup rapat. Hanya ada 3 lampu penerang jalan yang masih menyala dengan jarak yang lumayan jauh. Akibat kabut tebal pegunungan, lampu 10 watt itu jadi lebih buram dari nyala yang seharusnya. Kondisi itu membuat mereka makin terbenam dalam ketakutan. Seperti bulan kesiangan, wajah mereka mulai memucat dalam kegelapan.

“Kalian mencari siapa?” Satu suara yang serak parau tiba-tiba menyapa.

Serentak mereka menoleh ke asal suara. Oh Tuhan! Seketika jantung mereka serasa berhenti berdetak. Betapa tidak! Begitu menoleh ke sisi kanan, pandang mata mereka langsung bersirobok dengan sepasang mata yang menyorot tajam. Dan yang lebih mengagetkan lagi, pemilik mata elang yang menghujam itu tak lain dan tak bukan adalah lelaki tua yang pernah mereka temui di hutan Brongkos di awal perjalanan tadi.

“Oh, itt … ittu kkan kkaak … kkakkeek … yya … yyang ddi … ddi … hhut … hhutan Bbro … Bbrrongkos …,” ujar Toni dengan kaki gemetaran.

“Ii … iiyya ….” Rudi juga tak kalah gugupnya.

“Kalian mencari siapa?” Kakek dengan rambut riap-riapan itu mengulang pertanyaannya yang belum terjawab.

Mereka belum juga ada yang buka suara. Kiranya mereka masih berusaha menata hati untuk mengusir rasa takut yang memenuhi rongga dada. Karena dalam remang cahaya itu wajah si kakek terlihat lebih menakutkan dari pertemuan sebelumnya. Suaranya yang serak parau terdengar ganjil dalam kegelapan malam.

Jelas saja, selama dalam perjalanan mulai masuk wilayah Kawedanan Wlingi hingga sampai di tanjakan Kenaren ini, mereka yakin seyakin-yakinnya tiada satu pun berpapasan atau didahului oleh kendaraan lain. Tapi kakek misterius yang hanya berjalan kaki ini justru sudah sampai di kampung Bedengan lebih dulu. Benar-benar mengherankan.

“Kenapa, kalian kaget melihat saya sudah sampai di sini?” Kakek itu bertanya seakan bisa membaca apa yang sedang mereka pikirkan.

Dengan perasaan takut-takut, Rudi dan Toni mengangguk berat. Kakek itu tersenyum menyeringai. Dalam kegelapan itu deretan giginya yang besar-besar terlihat lebih jelas. Sedang mata elangnya yang tajam kini menatap lurus pada sosok Nuril yang tatap matanya nanar dan kosong.

Belum sempat Rudi atau Toni menjawab pertanyaan si kakek misterius dan angker itu, tiba-tiba dari arah bawah tanjakan Kenaren terdengar teriakan bernada jengkel dari seseorang.

“Woi, Toni! Rudi! Kalian itu keterlaluan banget, ya! Sudah tahu kalau aku ini penakut malah seenaknya kalian tinggal di sini! Untung ada Bapak ini yang kebetulan lewat dan mau mengantar ke sini!”

Lihat selengkapnya