Yang dimaksud loji itu ternyata dalah bangunan tua berarsitektur khas Belanda yang berdiri megah di sebidang tanah yang luas. Di sekelilingnya banyak tumbuh pohon-pohon besar yang seolah menjadi pagar. Loji Belanda itu menghadap ke barat yang tepat di depannya membentang satu-satunya jalan menuju ke kota kecamatan dan ke area perkebunan teh Sirah Kencong.
Sebuah taman kecil yang indah juga menghiasi halamannya. Aneka bunga yang sedang bermekaran nampak tertata rapi. Sementara di selatan ada sebuah kolam ikan berukuran sedang dengan airnya yang jernih. Sehingga dari permukaan airnya bisa terlihat dengan jelas aneka ikan yang melenggang-lenggok di dalamnya ketika sinar bulan menerpa permukaan air kolam. Sebuah pohon rambutan yang sedang berbuah lebat berdiri di sudut kolam. Daunnya yang rimbun memayungi sebagian besar kolam dari sengatan sinar matahari.
Bangunan Loji Belanda itu berbentuk memanjang. Bagian depan dijadikan ruang utama. Di sini terdapat ruang tamu dan beberapa buah kamar tidur. Bagian tengan sebagai ruang santai. Di desain sebagai ruang terbuka yang dilengkapi satu set meja kursi yang tampak nyaman. Sedang yang bagian belakang terdiri dari beberapa kamar mandi dan dapur. Dari halaman belakang ini dapat dilihat dengan jelas adanya jurang yang menganga lebar dan dalam. Selebihnya yang terlihat adalah gundukan pegunungan yang tampak menghijau penuh pepohonan.
Konon bangunan ini adalah tempat peristirahatan warga Belanda yang dulunya mengelola perkebunan dan pabrik kopi Pijiombo. Namun sekarang pabrik itu sudah tak produksi dan hanya tinggal sisa-sisa bangunan berangka besi yang semuanya sudah berkarat.
Orang itu membawa Rudi, Toni, Nadya, serta Nuril ke ruangan santai yang ada di bagian tengah tadi.
“Silakan duduk, Anak-Anak. Kalian istirahat saja di sini dengan santai, biar saya buatkan teh hangat,” ujar orang itu.
Mereka hanya mengangguk kaku. Gema suara orang itu yang dipantulkan pada dinding-dinding bangunan makin membuat merinding. Terlebih saat itu kabut tipis mulai turun menyelimuti bangunan tua itu.
Mereka duduk berimpit di sebuah kursi panjang yang menghadap ke selatan. Sisa-sisa kemegahan pabrik kopi tampak menghitam penuh misteri. Beberapa kelompok kelelawar hitam sesekali keluar dari reruntuhan pabrik itu sambil meneriakkan suaranya yang khas. Selebihnya yang terlihat hanyalah kegelapan.
“Siapa sebenarnya Bapak ini ya? Gerak geriknya tampak mencurigakan,” ujar Nadya lirih sambil menatap temannya satu persatu.
Yang ditatap semua hanya menggeleng pelan. Loji Belanda menawarkan rahasia yang mempertebal penasaran.
“Perasaanku makin gak enak nih, teman-teman. Di sini segalanya serba ganjil. Aneh. Mana suasana Loji ini tambah serem dari tanjakan Kenaren tadi,” keluh Nadya seraya beringsut mendekati Toni.
“Sudahlah, kita semua memang lagi takut. Tapi kita harus kesampingkan rasa takut itu demi kembalinya Dandi,” sahut Toni setengah berbisik.
“Iya, ya, gimana nasip Dandi sekarang?” Kali ini Rudi yang merasa tertekan. Ia merasa paling bersalah karena dirinya lah yang memiliki ide pergi ke tempat ini.