SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #10

NURIL GANJIL

Tepat tengah malam, Nuril yang semula tertidur dengan tenang tiba-tiba bangun dan duduk di sudut ranjang. Pandangannya yang kosong menatap lurus ke tembok kamar. Sambil memeluk lutut, jempol tangannya mengelus-elus sebentuk cincin bermata merah delima yang melingkar di jari manis tangan kirinya.

“Sitinggil … Gayatri …,” desisnya berulangkali.

Tiap kali bibirnya menyebut nama Sitinggil dan Gayatri, tanpa ia sadari mata cincin merah delimanya memunculkan kerlip cahaya terang di dalamnya. Kerlip cahaya merah itu disusul oleh seringai di bibirnya yang sensual.

“Heeerrrgg … Sitinggil … Gayatri ….”

Nadya yang masih berbaring di sisinya sejenak menggeliat. Tak sengaja ia melihat sikap Nuril yang ganjil malam itu. Dengan diam-diam ia perhatikan apa yang diucapkan sahabatnya itu.

“Sitinggil … Gayatri ….”

Heh! Nadya mengernyitkan dahinya. Ia mencoba mencerna apa itu Sitinggil dan Gayatri yang sedari tadi disebut-sebut oleh Nuril sambil mengelus-elus cincin di jari manisnya itu.

Hiii!

Nadya bergidik ngeri saat melihat cincin merah delima itu. Dalam pandangannya permata merah yang ada pada cincin itu bukanlah sebuah permata yang indah tetapi terlihat seperti sebentuk kepala makhluk mengerikan yang sedang menyeringai. Haus darah.

Takut terjadi apa-apa atas diri Nuril, perlahan Nadya bangkit dan berniat menyadarkan sahabatnya itu. Tapi anehnya, saat ia sudah duduk di hadapan Nuril dan terpapar sinar merah yang keluar dari cincin di jari manis Nuril, tiba-tiba ia jadi lupa pada niatnya.

“Siapakah Gayatri? Siapa pula Sitinggil yang terus disebut-sebut oleh Nuril itu?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat di benak Nadya tanpa mampu ia utarakan. Dalam hati ada keinginan kuat untuk mempertanyakannya, tapi pertanyaan itu hanya berhenti sampai di tenggorokan saja. Lidahnya terasa kaku. Bibirnya terasa kelu. Ada suatu kekuatan yang menahannya untuk berkata-kata.

Ia justru memandang Nuril dengan tatapan hampa. Bahkan bagai kerbau yang dicocok hidungnya, tanpa sadar mulut Nadya mulai bergerak mengikuti apa yang diucapkan Nuril.

“Sitinggil … Gayatri ….”

Setelah mengikuti ucapan Nuril itu sebanyak tiga kali, perlahan-lahan tubuh Nadya terkulai dan tergeletak kembali di ranjang. Matanya juga kembali terpejam.

“Hi hi hi hi …!” Nuril tertawa cekikikan. Tawa aneh. Tawa yang ganjil. Tawa yang seolah-olah bukan berasal dari mulut Nuril yang dikenal sebagai sosok pendiam.

Dan ketika dari permata cincin merah itu mengepulkan asap tipis yang membumbung ke langit-langit kamar, terdengarlah teriakan burung gagak dari atas bubungan Loji.

Krraaook …! Krraaaookk …!

Lihat selengkapnya