SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #11

TARIAN REMBULAN

Jam kuno berukuran besar yang ada di sudut ruang tengah berdentang 2 kali. Suaranya menggema layaknya teriakan setan yang bersembunyi di dalam gua. Tapi Nadya yang tertidur dengan posisi duduk di samping ranjang tempat Nuril terbaring lemah, sedikit pun tak terganggu dengan suara itu. Begitu pula Tony dan Rudi yang tidur di kamar sebelah. Mereka sama sekali tak terganggu dengan suara dentang jam yang menggema itu. Bahkan mereka terdengar mendengkur pelan akibat terlalu kecapekan.

Byarr!

Tubuh Nuril yang semula terbaring lemah tiba-tiba membuka kedua matanya lebar-lebar. Masih dengan tatapan matanya yang kosong dan gerakan kaku seperti robot, ia bangkit dari tidurnya. Tanpa memedulikan tubuh Nadya yang masih tergolek dan terpejam, perlahan Nuril turun dari ranjang. Sepatu yang ada di bawah kakinya tak ia hiraukan. Dengan kaki telanjang, gadis itu melangkah mendekati pintu.

Cekrek!

Ia putar handle pintu dengan kasar. Dikuaknya daun pintu hingga terbuka setengah bagian. Lantas ia melangkah menuju ke ruang belakang.

Lelaki tua penunggu loji masih berdiri menyandarkan punggung pada tiang beton penyangga teras ruang belakang sewaktu Nuril melintas di hadapannya tanpa menegur sapa. Lelaki itu hanya tersenyum menyeringai seraya memelintir jenggot tipisnya. Namun, demi melihat langkah Nuril yang menuju ke salah satu kamar mandi yang ada di situ, barulah lelaki tua itu bergegas menghampiri.

“Neng, kalau mau ke kamar mandi kenapa nggak ke kamar mandi yang ada di dalam kamar saja. Terlalu berbahaya kalau malam-malam ke kamar mandi ruang belakang ini,” katanya memperingatkan sebelum tangan Nuril sempat menarik handle pintu kamar mandi itu.

Serta merta Nuril berhenti. Ia menoleh, menatap lelaki yang berdiri dengan jarak satu meter dari dirinya itu. Masih dengan tatap matanya yang kosong, seulas senyum terlukis di bibir mungilnya. Senyum manis yang beraroma mistis.

Sadar kalau Nuril sedang digerakkan oleh suatu kekuatan lain dari luar dirinya, lelaki tua itu tak berani membalas senyuman manis Nuril. Meski tak urung, sekilas kedua matanya tersedot memandangi belahan dada Nuril yang mengintip dari balik baju yang kedua kancing bagian atasnya sudah terbuka.

Nuril bergeming. Seakan gadis itu tak merasa risih ditatap bagian dadanya yang sintal. Bahkan dengan satu gerakan gemulai, Nuril justru mengangkat sebelah kakinya sehingga mempertontonkan paha mulusnya yang putih bersih. Sementara senyum manisnya masih terpampang menggoda.

Sejenak lelaki tua itu terkesima. Dia mengelus dada. Kejadian berpuluh tahun yang lalu, yang ia dengar secara turun temurun dari kakek buyutnya terpampang nyata di permukaan benaknya. Hal itu membuat lelaki itu bergidik ngeri.

Selanjutnya ketika tangan Nuril mulai mendorong pintu kamar mandi bercat hijau muda itu, si lelaki tua sudah tak dapat lagi berbuat apa-apa. Ingin ia mencegah tindakan berbahaya dari gadis itu tapi ia tak berdaya. Tubuhnya terpaku di tempatnya berada.

Pintu kamar mandi tertutuplah sudah seiring lolongan anjing hutan yang tiba-tiba terdengar bersahutan. Lelaki tua itu berusaha merapal mantra guna melepaskan kekuatan yang telah mengikat dirinya. Namun usahanya sia-sia belaka. Beragam mantra yang telah di baca, tiada satu pun yang berkasiat. Bahkan kekuatan gaib yang mengungkung dirinya di rasa semakin besar adanya.

Tubuh lelaki tua itu sampai mengucurkan keringat dingin.

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu seekor burung hantu terbang mendekat dan hinggap di ventilasi kamar mandi yang sudah tak berkaca. Sesaat matanya yang bulat tajam, menatap wajah lelaki tua itu sambil memperdengarkan suaranya yang menyeramkan. Suara yang dirasa tajam menghunjam hingga ke ulu hati si lelaki tua.

Sementara itu di dalam kamar mandi yang sebagian besar atapnya sudah tak ada lagi, Nuril sudah berdiri telanjang bulat. Kedua matanya menutup lurus ke bayangan bulan yang ada di dasar bak mandi. Sinar kuning keemasan menyapu permukaan air yang sesekali beriak pelan akibat sapuan angin malam.

Perlahan gadis itu menautkan kedua telapak tangannya yang ia angkat lurus di atas kepala. Dengan gerakan yang pelan pula, kaki kirinya ia angkat dan ia tekuk sedemikian rupa sehingga telapak kakinya menempel rata pada lutut kaki kanannya. Tampaknya satu kekuatan yang berasal dari luar dirinya mulai menguasai tubuh Nuril seutuhnya.

Angin bertiup lirih. Memutari tubuh telanjang yang bibirnya menggumamkan sebuah mantra dengan suara tertahan. Sedetik kemudian tubuh molek itu meliuk dan berputar mengikuti embusan angin. Dari kejauhan sayub-sayub terdengar alunan gamelan Jawa. Seiring suara gamelan yang semakin rancak terdengar, gerakan tubuh telanjang itu juga semakin liar. Kini gerakan tariannya jadi menyerupai tarian bidadari yang sedang memuja dewi malam. Layaknya seorang penari telanjang yang sedang ditonton ratusan lelaki hidung belang, dengan mata tetap terpejam Nuril meliuk-liukkan tubuh seolah sedang memamerkan kemolekan badannya untuk mengundang rangsang.

Lihat selengkapnya