Lelaki tua yang ternyata bernama Mbah Ganden itu mengajak Toni, Rudi, dan Nadya menyusuri jalan setapak yang menurun curam di sisi barat Loji Belanda. Jalan setapak itu terletak di sebelah selatan pos penjagaan pabrik kopi yang sekarang sudah mangkrak. Warga setempat jarang yang melewati jalan itu. Kecuali bagi mereka yang punya niat berburu musang atau celeng di hutan yang ada di dasar jurang.
Tubuh tua Mbah Ganden melangkah ringan menyusuri jalan terjal itu, seolah sedang berjalan di jalan yang mulus dan rata. Padahal faktanya jalan setapak itu penuh batu terjal serta akar pepohonan yang melintang. Tak ayal ketiga remaja yang mengikuti langkahnya jatuh bangun saat melangkah. Meski ketiga remaja itu berjalan sambil berpegangan tangan, tapi masih saja akar tumbuhan liar yang banyak melintang sering membuat mereka tersungkur ke rerumputan.
Dari jalan beraspal yang ada di depan Loji, jalan setapak ini bagaikan seekor ular berukuran besar yang sedang menuruni bukit. Berkelok-kelok di antara pepohonan liar yang berdiri angker di sekitarnya.
“Ayo kalian, jalannya agak cepat! Jangan sampai kita kejebak hujan di tempat ini,” seru Mbah Ganden saat ketiga remaja itu berhenti sesaat untuk mengambil napas yang telah tersengal.
“Iya, Mbah,” sahut mereka serentak.
Meski sambil mengeluh, mereka kembali meneruskan langkah sebelum sempat mengelap peluh. Sesekali mereka harus menyibak dan menyingkirkan ranting pepohonan yang menghalangi jalan.
Hiiih! Nadya bergidik ngeri saat menyempatkan diri menengok kembali ke atas. Pos penjagaan pabrik yang tadi ia lewati, kini hanya tampak seperti titik putih yang berukuran kecil. Kiranya mereka sudah sangat dalam menuruni jalan setapak yang membelah hutan lebat itu.
“Apa masih jauh ya, Ton? Tenagaku sudah habis rasanya,” kata Nadya dengan napas tersengal-sengal. Keringat sebesar biji jagung mentes deras dari sekujur tubuhnya.
“Entahlah Nad, aku juga sudah capek banget ini,” sahut Toni dengan kondisi tubuh tak jauh beda dengan Nadya.
“Mbah, bisa nggak kita beristirahat sebentar. Kami sudah kehabisan tenaga ini.” Kali ini Rudi yang memberi usulan.
Mbah Ganden menghentikan langkah sebentar. Ia geleng-geleng kepala menatap ketiga remaja yang sedang ngos-ngosan itu.
“Kita istirahat di bawah saja. Sebentar lagi sudah sampai kok,” jawab Mbah Ganden yang nampak tak lelah sedikit pun. Tubuh lelaki tua itu juga tak meneteskan keringat. Tetap bugar seperti saat berangkat.
Tak ada alasan lagi bagi ketiga remaja itu untuk membantah. Dengan sisa tenaga yang masih ada, mereka kembali meneruskan langkah.
Sekitar 20 menit kemudian, barulah Mbah Ganden memberi isyarat agar mereka menghentikan langkah. Mereka berhenti di bawah sebuah pohon Bendo raksasa. Dahannya yang rimbun dan lebat menyerupai payung raksasa yang menaungi tetumbuhan di bawahnya. Sebuah sumber air yang besar dan jernih menyembul dari sela akar yang berukuran besar, tepat di bawah batang pohon Bendo yang berdiameter lebih dari 2 depa tangan orang dewasa.
Melihat air bening yang terlihat menyegarkan itu, rasa haus yang telah memenggal kerongkongan, memaksa Nadya untuk segera berlari menghampiri sumber air itu. Keinginannya untuk minum dan membasuh muka tak terbendung lagi. Tak ayal ia pun berlari mendekati.
“Stop! Jangan sentuh air itu dulu!” cegah Mbah Ganden ketika tangan Nadya hampir saja meraup air itu dengan telapak tangan yang disatukannya.