SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #14

DI ALAM BAWAH SADAR

Sementara itu, di salah satu kamar dalam Loji, Nuril masih terbaring lemah tanpa daya. Tubuhnya belum dapat digerakkan meskipun kedua kelopak matanya sudah terbuka lebar. Bola matanya yang bulat sempurna menatap lurus ke langit-langit kamar. Dadanya bergerak turun-naik seiring embusan napas. Gerakan dadanya kadang terlihat pelan dan kadang berubah cepat seolah baru saja berolah raga berat.

Di alam bawah sadarnya, ia merasa sedang berada di tepian sebuah sumber air yang terletak di tengah perkebunan kopi yang sedang berbuah lebat. Ia duduk di sebongkah batu hitam dengan kaki menjuntai. Kain jarit yang dikenakan pada bagian bawah tubuhnya, hanya mampu membungkus badan sampai di atas lutut. Sehingga betisnya yang berkulit putih bersih terpampang nyata.

Anak-anak rambutnya yang tergerai indah, menari-nari ditiup angin. Rambutnya yang panjang, lurus menghitam digerai ke depan hingga menutupi bagian dadanya yang sintal dan membusung indah. Kebaya tipis bermotip bunga yang dikenakannya singset membalut tubuh. Di bagian dadanya sedikit terbuka sehingga memamerkan belahan dadanya yang menawan.

Sesekali tangannya yang berjemari lentik menyibak rambut yang menutupi pipi. Matanya menatap lurus ke hamparan kebun kopi yang daun-daunnya nampak mengkilat lantaran permukaan daunnya sedang dijilat lidah matahari. Kembang desa perkebunan kopi itu terlihat seperti bidadari yang sedang menyambangi bumi. Diiringi senyum terindah dari bibirnya yang merona merah, ia petik sekuntum bunga liar yang tak jauh dari tempatnya berada. Tanpa beranjak dari duduknya, ia petik bunga berwarna putih itu untuk kemudian ia sematkan di atas telinga kirinya. Bunga sederhana yang kian mempercantik penampilannya.

Kini mata bening Nuril beralih ke kawanan angsa liar yang sedang berenang di sumber air. Sepasang angsa putih itu berenang dan berkejaran sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Percikan air yang tercipta dari kepakan sayap sepasang angsa itu, menciptakan riak air yang susul menyusul layaknya suasana pantai.

Tanpa disadarinya, seorang lelaki berwajah bengis yang dikawal dua orang centeng datang menghampiri. Keindahan alam yang mempesona membuat kembang desa itu tak mendengar derap kaki kuda empat orang lelaki yang kini sudah berdiri di belakangnya.

“Sawitri, sudah sedari tadi kucari kau ke mana-mana, gak tahunya kau sedang di sini rupanya.” Suara lelaki itu mengagetkan kembang desa itu.

Spontan Sawitri menoleh. Lelaki itu tersenyum menyeringai seraya melangkah menghampiri.

“Jangan dekat-dekat! Atau aku akan teriak!” ancam gadis itu ketika jarak keduanya tinggal lima depa.

“Ha ha ha …! Kau mau berteriak, berteriaklah sekeras-kerasnya. Di sini tak akan ada yang bias mendengar teriakanmu itu, Nduk,” sahut lelaki itu sinis.

“Apa maumu sebenarnya, hah? Kenapa kau selalu saja datang menggangguku?” Kali ini Sawitri bertanya seraya berdiri dan menatap nyalang.

“Mauku sudah jelas Nduk, aku ingin menikahimu. Aku ingin menjadikanmu wanita terhormat dan bahagia karena bergelimang harta. Harusnya kau merasa beruntung karena mandor perkebunan yang terhormat seperti aku, mau menikahimu. Daripada mereka para buruh pemetik kopi itu, apa yang bisa kamu harap dari seorang suami yang juga buruh rendahan di pabrik kopi milik Tuan Van Berg ini, heh?” balik tanya lelaki itu dengan sikap yang jumawa.

“Aku tidak sudi jadi istrimu!” tolak Sawitri sinis.

“Hati-hati dengan penolakanmu itu, Nduk. Pikirkan dulu baik-baik daripada nanti kau menyesal di belakang hari.” Masih saja lelaki yang usianya seumuran dengan bapaknya Sawitri itu tersenyum menyeringai.

“Aku justru akan sangat menyesal jika menikah dengan lelaki bangkotan macam kamu!” Suara Sawitri makin tinggi nadanya. Tentu saja terdengar sengak di telinga lelaki yang sudah punya tiga orang istri itu.

Penduduk setempat mengenal mandor perkebunan kepercayaan Tuan Van Berg itu dengan sebutan Patrap. Lelaki tua ini terkenal dengan perilakunya yang kasar dan sikapnya yang kaku. Bahkan anti penolakan. Segala keinginannya harus tercapai tak peduli dengan cara apa pun.

“Kalau saja kau tak secantik ini, aku sudah pasti akan melenyapkanmu karena sikap sinismu itu!”

“Bunuh saja aku daripada harus kau jadikan istri ke empatmu!” tantang Sawitri.

“Oo, enggak semudah itu, Nduk. Pantang bagiku melenyapkan sekuntum bunga sebelum aku sempat menikmati madunya. Jadi sekali lagi kutanya padamu, maukah kau jadi istriku, Nduk?”

Cuih! Bukan jawaban yang Sawitri berikan tapi ia malah meludah tepat di hadapan lelaki itu.

Lihat selengkapnya