Astaga!
Toni, Rudi, dan Nadya tersentak. Air sumber yang semula bening itu tiba-tiba berubah warna menjadi merah, semerah darah setelah Mbah Ganden menaburkan isi takir yang baru saja diberikan oleh Nadya. Lebih anehnya lagi, permukaan air yang semula tenang itu serta merta mengeluarkan gelembung-gelembung dan uap putih layaknya air mendidih.
Mbah Ganden masih berdiri dengan mata terpejam. Kedua tangannya disilangkan ke dada seolah sedang menahan datangnya serangan entah dari siapa. Suara angin menderu mengiringi gemuruh air yang semakin menjadi.
Hap!
Mbah Ganden melompat mundur selangkah seraya meliukkan tubuh ke sisi kanan. Sepertinya lelaki tua itu sedang menghindari serangan gaib yang membuat ketiga remaja itu semakin ketakutan.
Betapa tidak! Pohon Bendo raksasa yang semula diam tak bergerak, tiba-tiba meliuk-liukkan dahan dan rantingnya seakan sedang ada badai yang melanda. Beberapa kali dahannya yang panjang-panjang nyaris menerjang tubuh Mbah Ganden yang masih berdiri angker dengan mata terpejam.
“Hai manusia …, jangan kau usik tempat tinggal kami. Apa yang kalian cari tidak ada di sini. Pergilah … pergiii …!”
Tiba-tiba terdengar satu suara yang entah dari mana datangnya. Suara itu menggema di sela desau angin yang makin membesar. Ketiga remaja itu sampai jatuh berguling-guling sambil menutup kedua telinga lantaran tak kuat menahan kerasnya suara yang seolah hendak merobek gendang telinga.
“Lalu di mana kalian bawa anak itu, hah?” Mbah Ganden menghardik entah pada siapa.
“Kenaren! Ke-na-ren …! Ha ha ha ha …!”
Hiaaat! Serta merta Mbah Ganden melemparkan sebutir telur yang ia ambil dari dalam takir yang masih menggeletak di depan mata kakinya. Pyaar! Begitu telur itu pecah menghantam batang pohon Bendo raksasa, seketika gemuruh angin berhenti. Air yang semula semerah darah dan mendidih juga kembali tenang.
Mbah Ganden membuka mata dan membetulkan letak udengnya yang berantakan.
“Anak-anak, teman kalian sepertinya tidak ada di tempat ini,” ujar Mbah Ganden setelah merapikan rambutnya yang jadi awut-awutan.
“Lalu di mana, Mbah?” Nadya semakin cemas.
“Teman kalian itu masih ada di Kenaren.”
“Di tikungan yang menanjak terjal, tempat mobil saya macet itu, Mbah?” Rudi ingin memastikan.
“Ya, benar di sana. Tepatnya di bawah pohon Kluwih tepi jurang itu.”
“Tapi Mbah, malam itu kami benar-benar melihat Dandi pergi minta bantuan ke kampung Bedengan bersama Nadya,” kata Toni makin penasaran.
“Tapi buktinya sampai sekarang Nadya masih bersama kalian, kan?”
“Ya, itulah yang saya herankan, Mbah.” Kali ini Nadya yang bersuara.
Mbah Ganden tersenyum tipis baru kemudian memberikan tanggapan.
“Penghuni tikungan Kenaren memang terkenal jahil. Sering menyesatkan orang. Kalian masih beruntung hanya dibuat macet dan teman kalian menghilang satu. Sebab setahun yang lalu malah ada satu rombongan dari Surabaya yang mobilnya dibuat kesasar sampai ke dasar jurang,” cerita Mbah Ganden mengagetkan mereka.
“MashaAllah,” seru mereka serentak bagai paduan suara.
“Sudahlah, sebaiknya sekarang kita segera ke Kenaren. Sebelum adzan Dhuhur kita harus sudah sampai di sana. Dan karena sekarang hari Jumat legi maka kita gak boleh kembali melewati jalur saat kita berangkat tadi. Itu pamali yang bisa membahayakan keselamatan teman kalian.”
“Jadi kita harus lewat mana, Mbah?” tanya Toni bingung.