Pagi yang dingin. Matahari belum lagi bangun dari tidurnya. Kabut tipis yang menebar hawa dingin menyelimuti dukuh Bedengan. Permukaan dedaunan tampak basah bermandikan embun. Begitu pula jalan berbatu-batu yang membentang di depan Loji. Batu segenggaman yang menyembul di sepanjang jalan juga terlihat basah dan licin.
Di depan musholla yang berhadapan dengan gerbang pintu masuk Loji di sisi selatan, dengan tubuh terbungkus jaket tebal, Nadya berdiri dengan tangan bersedekap. Ia memandang sekelompok ibu-ibu yang sedang berjalan menuju ke perkebunan teh Sirah Kencong. Para buruh pemetik teh berjalan sambil mengobrol entah tentang apa. Yang jelas bukan tentang di dalam negeri yang penuh intrik dan marak kasus tindak korupsi.
Begitu kelompok ibu-ibu itu sudah tak kelihatan lagi dari tempatnya berdiri, Nadya mengalihkan pandangan pada sebuah cungkup yang menaungi beberapa benda petilasan berbahan batu andesit. Bebatuan itu disusun rapi mengitari dua makam. Makam kuno yang dipercaya warga dukuh Bedengan sebagai tempat peristirahatan terakhir cikal bakal dukuh Bedengan.
Seperti petilasan pada umumnya, pada hari-hari tertentu warga dukuh Bedengan mengadakan ritual ambo bunga di kedua makam keramat itu. Tak jarang mereka yang hendak punya hajat juga melakukan selamatan buceng pitu di lokasi petilasan yang mereka sebut Nyadran.
Nadya yang memang menyukai hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, memperhatikan area petilasan itu dengan seksama. Sesekali ia memotret area petilasan itu dengan kamera ponselnya. Hmm, ia tersenyum melihat hasil jepretannya yang lumayan jernih. Kemudian ia pun berbalik badan. Ingin selfie dengan background petilasan itu. Sesaat ia memperbaiki pose dirinya sebelum memencet tombol lingkaran biru di monitor ponselnya. Seulas senyum ia ukir di bibirnya untuk memperbaiki gaya berfotonya.
“Satu, dua, ti ….” Belum selesai ia menghitung untuk yang ketiga kalinya serta sebelum jempolnya sempat menekan tombol kamera, tiba-tiba satu suara serak parau mengagetkannya.
“Selamat pagi, Nak.”
Serta merta Nadya menoleh. Saking kagetnya, hampir saja ia berjingkat manakala melihat wajah lelaki tua yang menyapanya. Betapa tidak! Seraut wajah keriput yang berhias bekas luka bacok di pipi kanannya tersenyum dingin. Rambut putihnya yang tergerai menutupi separo wajahnya. Membuat penampakan lelaki tua itu makin menyeramkan.
“Selamat pagi juga. Ee …, bukankah Kakek adalah ….”
Belum sempat Nadya meneruskan ucapannya, lelaki tua itu sudah pula memenggal kalimatnya.
“Ya, saya adalah lelaki tua yang pernah ketemu kalian di perjalanan dan bahkan nyaris tertabrak mobil kalian malam itu. Maaf, bukan maksud kakek untuk menakutimu. Tapi kalian harus berhati-hati selama tinggal di Loji Belanda itu. Terutama terhadap lelaki tua yang menunggu Loji.”
“Mbah Ganden, maksud Kakek?”
Sejenak lelaki tua itu mengalihkan pandangan ke lokasi Loji dengan wajah takut-takut, baru kemudian dia mengangguk pelan.
“Memang siapa sebenarnya Mbah Ganden itu, Kek?”
Belum sempat lelaki tua itu menjawab, Rudi muncul di ambang pintu Loji sambil memanggil-manggil Nadya.
“Nadya! Nadya! Kau kah di sana itu?”
“Iya. Aku di sini, Rud.”
Bergegas Rudi menghampiri Nadya yang sudah melambai ke arahnya.
“Tadi kedengarannya kau sedang ngobrol dengan seseorang, siapa Nad?” tanya Rudi ketika sudah sampai di hadapan Nadya.
“Ini, dengan Kak ….” Nadya urung melanjutkan kalimatnya sebab saat ia menoleh kakek yang tadi itu sudah tidak berada di tempatnya. Penasaran, ia lalu memeriksa di kedua ujung jalan. Tapi tetap saja tak terlihat siapa-siapa. Ke manakah perginya kakek tadi?
“Kau mencari siapa, Nad?” Rudi ikut menatap kedua ujung jalan berbatu-batu itu. Sepi. Tidak ada seorang pun yang terlihat melintas.
“Ah, nggak. Gak nyari siapa-siapa. Sedari tadi aku sendirian kok. Nggak ngobrol sama siapa pun. Mungkin kau tadi salah dengar.”
“Masa, sih? Aku tadi mendengarnya dengan jelas, loh.”
“Oh iya, aku tadi terima telepon dari orang rumah,” sahut Nadya jelas bohongnya.
He, Rudi yakin Nadya berdusta. Ia tahu kalau di dukuh Bedengan ini tidak ada sinyal ponsel yang bisa masuk. Mustahil jika keluarga Nadya dapat menghubungi lewat telepon. Tapi sudahlah! Rudi tak mau mengungkit lagi.
“Oh ya Rud, ada apa kau tadi memanggil-manggil aku?” Nadya berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Mbah Ganden menyuruh kita berkumpul di ruang tengah, Nad. Ada sesuatu yang akan dia sampaikan untuk kita semua katanya.”
“Soal apa?”
Rudi mengangkat kedua bahunya.