Pukul 23.30
Batu pipih berada di bawah pohon kluwih di bibir jurang sisi barat Kenaren, nampak berkilauan tertimpa cahaya bulan. Permukaannya yang halus dan rata memantulkan sinar bulan yang kuning keemasan.
Seekor burung hantu, bertengger di atas batu itu. Matanya yang bulat besar tertuju ke angkasa. Memandang sang dewi malam yang sedang timbul tenggelam di balik awan.
Nyanyian jengkerik dan binatang malam lain yang menghuni dasar jurang, menjadi irama ritmis yang menyebarkan aura mistis. Kawanan kelelawar yang sesekali terbang melintas, sedikit pun tak menarik minat sang burung hantu yang sedang menikmati malam syahdu.
Ketika angin dari bawah tanjakan menderu dan menerbangkan debu-debu, barulah burung hantu itu terbang ke utara membelah langit malam yang gelap. Suara teriakannya yang khas mendirikan bulu roma sehingga warga dusun Bedengan kiat rapat bersembunyi di balik selimut.
Kepakan sayapnya yang terdengar berat, terdengar seperti tepukan tangan yang sengaja dilakukan untuk mengundang para setan. Setan-setan penghuni tanjakan angker Kenaren yang telah lama menunggu santapan korban.
Tepat pada saat kaki burung hantu itu menjejak di atas wuwungan Loji Belanda, Nuril yang sedari tadi duduk sambil memeluk lutut di sudut ranjang, tiba-tiba menjerit keras.
“Aaaarrrhhhh …! Sitinggil …! Sitinggil ….”
Serta merta keempat temannya yang memang belum terpejam, bergegas menghampirinya ke dalam kamar.
“Nuril! Ada apa, Ril? Ada apa? Siapa Sitinggil itu?” Nadya bertanya seraya mengguncang-guncang pundak Nuril yang kini sudah berdiri di atas ranjang dengan mata menatap lurus ke genteng kaca yang meneruskan cahaya bulan ke dalam kamar.
Nuril tak menyahut. Gadis berjilbab putih masih saja menatap lurus ke genteng kaca yang memperlihatkan purnama.
“Ril, sadarlah Ril, sadar. Kau kenapa, Ril?” Nadya menatap sahabatnya dengan gugup. Ia takut suatu hal buruk kembali menimpa sahabatnya itu.
Toni dan Rudi yang berdiri di ambang pintu, sejenak saling pandang. Mereka bingung! Tak tahu apa yang harus dilakukan.
Mbah Ganden yang sedari petang masih duduk menghadapi tiga takir plontang di atas meja, tersenyum menyeringai. Sambil memilin-milin jenggotnya, lelaki itu itu menghampiri mereka.
“Bawalah temanmu itu duduk di ruang tengah. Sepertinya pengakuan tengah malam akan segera terjadi,” ucap Mbah Ganden tanpa ekspresi.
“Maksud Mbah, Nuril yang telah melaku ….” Belum sempat Nadya melanjutkan kalimatnya, Mbah Ganden sudah pula memotongnya.
“Belum tentu juga. Bisa jadi pengakuannya nanti justru menunjuk ke salah satu di antara kalian.” Suara Mbah Ganden jelas penuh penekanan.
Nadya yang masih berdiri di dekat Nuril, terdiam. Namun, saat tanpa sadar matanya tertuju pada Tony, wajah gadis itu seketika tercekat. Toni yang semula berwajah cerah, tiba-tiba menjadi pucat pasi.
“Rudi, Toni, ayo bantu aku membawa Nuril ke ruang tengah!” perintah Nadya kemudian.
Toni dan Rudi mengangguk berbarengan. Perlahan keduanya naik ke ranjang dan membantu Nadya membawa Nuril keluar ke ruang tengah.
****
Mbah Ganden sudah duduk bersila di atas selembar tikar daun pandan ketika Nadya, Rudi, dan Toni sampai di ruang tengah.