SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #20

LELAKU KUNGKUM

Kroaaakk!

Burung hantu yang sedari tadi bertengger di wuwung Loji berteriak nyaring dan langsung terbang ke barat sewaktu Mbah Ganden mengawal kelima remaja menuju Jeding Ombo yang terletak di sisi utara Loji. Hanya berbatas jalan berbatu selebar dua meter. Jalan ini menuju ke kincir air sederhana yang dipergunakan sebagai sumber listrik warga dusun Bedengan.

Sesuai arahan Mbah Ganden, Nuril yang berjalan paling depan, hanya membungkus tubuhnya dengan selembar kait jarik bermotif Parang. Jarik itu membalut tubuh Nuril yang berkulit putih sebatas dada hingga sedikit di atas lututnya. Rambut Nuril yang biasanya tertutup jilbab juga dibiarkan terbuka dan tergerai hingga ke pundaknya. Betis mulus dengan telapak kaki telanjang itu melangkah hati-hati di bawah sinar rembulan yang mulai berubah kuning kemerahan.

Di sisi kanannya, Toni berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Tak jauh beda dengan Nuril, cowok itu hanya membungkus tubuhnya sebatas pusar hingga di atas lutut dengan menggunakan kain sarung bermotif bidak khas Bali. Kotak hitam dan putih. Sebagai simbol kebaikan dan kejahatan yang akan selalu berjalan beriringan di muka bumi.

Di belakang mereka, Mbah Ganden melangkah ringan sambil menaburkan aneka bunga yang telah ia rendam dalam sebuah takir plontang. Takir berbahan daun pisang raja sajen yang disandat dengan dua helai janur yang disatukan dari setiap sudutnya. Lelaki tua itu mengenakan pakaian kebesaran berupa setelan hitam besar dan kedodoran lengkap dengan udeng khas prajurit Majapahit. Sebilah keris kuno terselip di bagian pinggang.

Nadya, Rudi, dan Dandi yang berjalan paling belakang, melangkah penuh kehati-hatian. Terutama Nadya, sesekali mata gadis itu beredar ke sekitar jalan. Dari balik rerimbunan pohon-pohon perdu, ia melihat adanya gerakan-gerakan mencurigakan searah dengan tujuan langkah kaki mereka. Suara-suara tawa dan desah berat juga kerap mampir di telinganya. Namun, anehnya semua terdiam seakan hanya dirinya yang dapat mendengar suara-suara dari alam kegelapan.

Cahaya bulan yang timbul tenggelam di balik awan, membuat bayangan pepohonan menjadi kian nampak mengerikan. Pucuk-pucuk daun yang tertiup angin malam, menciptakan bayangan ganjil di atas rerumputan serta jalan berbatu, layaknya tangan-tangan setan yang sedang memanggil bala bantuan untuk sebuah pesta hendak dilaksanakan. Cuitan gerombolan kelelawar yang terbang melintas menambah seram perasaan yang sedang was-was.

Sampai di pinggiran Jeding Ombo, dengan isyarat tangannya Mbah Ganden menyuruh mereka berdiri di tepian kolam. Permukaan air kolam tampak berkilauan tertimpa sinar rembulan. Wajah rembulan yang bulat penuh seakan berpindah ke dasar kolam.

Mbah Ganden melangkah, mengambil arah yang berlawanan dengan mereka yang sedang menghadap ke utara. Dengan gerakan perlahan, lelaki tua itu membungkukkan badan. Tangan kirinya terulur ke air kolam.

Plak! Plak! Plak!

Ia tepuk permukaan air kolam tiga kali sehingga menimbulkan gelombang kecil yang saling berkejaran. Setelah itu ia berjongkok dan menghentakkan sebelah kakinya ke bumi. Gerakan ini juga ia lakukan tiga kali.

Selanjutnya Mbah Ganden menaburkan isi takirnya yang berupa aneka kembang dicampur irisan daun puring di ke empat sudut kolam. Ia lakukan ini sambil berjalan mundur searah putaran jarum jam.

Rudi dan Dandi bergidik ngeri. Mereka saling berhimpit badan. Hanya Nadya yang berdiri tenang dengan mata yang tak pernah lepas dari apa saja yang dilakukan Mbah Ganden.

Dengan suara bergetar seolah menahan sebuah luka yang teramat dalam, Mbah Ganden mulai memberi perintah.  

“Kalian berdua, masuklah ke kolam. Berdiri saling membelakangi. Toni, kau harus menghadap ke atas menatap bulan purnama. Usahakan tanpa berkedip walau ada penampakan apa pun yang terlihat. Dan kau, Nuril. Kau menghadaplah ke selatan, lurus dengan posisi tanjakan Kenaren. Pusatkan pikiranmu, seolah-olah kau sedang berada di sana saat ini.”

“Lalu kami harus melakukan apa, Mbah?” Nadya yang justru mengajukan pertanyaan.

“Kalian diam saja di tempat. Bantu kami dengan doa, sebisa kalian!” Mbah Ganden menjawab dengan gelagat tak senang.

Krooaaakk!

Seekor burung gagak datang dan langsung hinggap di atas genteng bangunan cungkup yang berdiri di sebelah timur kolam. Matanya yang merah menyala, memandang bergantian antara kolam dan rembulan.

Lihat selengkapnya