Plek!
Nadya merasakan tepukan di pundak kanannya. Seketika hawa dingin memeluk tubuhnya. Sejenak ia terkesiap. Seperti baru terbangun dari tidur panjangnya, serta merta Nadya menoleh.
Sesosok lelaki tua dengan wajah serupa dengan Mbah Ganden telah berdiri di sampingnya. Lelaki tua itu tersenyum sehingga bekas guratan luka di wajahnya semakin nampak jelas terlihat.
“Aki Komar,” gumam Nadya.
“Arwah jahat Mbah Ganden telah membawa Nuril ke Kenaren. Cepatlah susul dan selamatkan dia!” ujar Aki Komar seraya menunjuk ke tengah kolam.
Sejenak Nadya mengucek-ucek kedua matanya. Setengah tak percaya ia arahkan pandangan ke tengah kolam. Sekilas, ia masih bisa melihat tubuh Nuril yang berdiri dalam kondisi tersiksa.
“Lah, itu Nuril masih ada, Ki,” sahut Nadya.
“Mbah Ganden telah menipu pandanganmu, Nad. Coba pejamkan matamu sejenak dan pusatkan pikiranmu.”
Tanpa menyahut Nadya mengikuti petunjuk Aki Komar itu. Gadis itu memejamkan mata dengan rapat sambil berusaha memusatkan pikirannya.
“Sekarang, perlahan bukalah matamu dan lihatlah ke tengah kolam!”
Nadya menurut saja. Perlahan ia buka matanya dan langsung memandang ke tengah kolam. Astaga! Semula matanya memang masih menangkap adanya sosok Nuril yang masih berdiri di tengah kolam. Namun lama-lama keberadaan sosok Nuril itu semakin kabur hingga akhirnya hilang tanpa bekas. Di tengah Jeding Ombo yang tersisa tinggal Toni saja.
“Ayo Nad, kita harus bergegas menyusul dan menyelamatkan Nuril,” kata Aki Komar menyadarkan Nadya yang masih terpana.
“Tap … tapi Mbah … bagaimana dengan mereka?” Nadya mengkawatirkan Rudi, Dandi, serta Toni yang masih menjalankan ritual kungkum.
“Mereka tidak akan kenapa-napa. Sebab Mbah Ganden hanya menginginkan Nuril saja.”
Tanpa memberi kesempatan pada Nadya untuk bersuara lagi, Aki Komar sudah melangkah ringan meninggalkan tepian kolam. Meski dengan sedikit ragu-ragu, Nadya akhirnya menyusul langkah lelaki tua itu.
Kali ini, Aki Komar tidak membawa Nadya melewati jalan berbatu yang membentang di barat kolam. Lelaki tua itu justru mengajak Nadya menyusuri jalan setapak yang ada di belakang Loji.
Anehnya, ketika kaki Nadya menjejak di jalan setapak yang tertutup rimbunan ilalang itu, tiba-tiba saja ia seperti terlempar ke jaman penjajahan Belanda. Reruntuhan pabrik kopi yang biasa ia lihat selama ini, seketika berubah menjadi sebuah pabrik besar yang masih aktif berproduksi. Hampir di seluruh bagian pabrik, banyak terlihat kelompok-kelompok wanita pribumi yang sedang bekerja di bawah pengawasan seporang mandor Belanda. Dengan seragam khasnya, para mandor itu menenteng sebuah cambuk yang siap ia lecutkan untuk buruh pabrik yang dia anggap malas.
Di sisi lain, di ruang kepala mandor yang terletak di tengah bangunan utama pabrik, ia saksikan beberapa wanita setengah telanjang yang sedang antre untuk digagahi sang kepala mandor yang berkepala botak. Di bawah ancaman sebilah bayonet panjang, perempuan-perempuan malang itu terpaksa melayani nafsu bejat sang juragan dengan air mata yang bercucuran.
Ingin rasanya, Nadya mendobrak kelakuan bejat yang terpampang di depan matanya itu. Namun hal itu tak bisa ia lakukan. Keberadaannya seolah tidaklah nyata adanya. Sebab sepanjang ia dan Aki Komar melintas, tiada seorang pun yang mengacuhkan mereka. Seolah-olah seisi pabrik kopi itu tidak ada yang melihat dirinya saat itu.
Lebih parahnya lagi, apa yang sedang terlihat olehnya dapat pula ia rasakah seolah Nadya yang sedang mengalami. Tiap kali terdengar jeritan pilu wanita yang sedang diperkosa, tubuh Nadya juga terasa ngilu tiada terkira.
Hingga langkah Nadya semakin lunglai karenanya.
****