SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #22

TUMBAL TANJAKAN ANGKER

Malam semakin tua. Kaki-kaki kegelapan menjejak semakin ke dalam hingga menjamah ke sudut-sudut dusun Bedengan. Dusun yang sekian lama mencecap damai, tiba-tiba terusik oleh suara-suara dari alam gaib. Betapa tidak! Pintu-pintu rumah petak warga yang sedang tertutup rapat sedari sore tadi, tiba-tiba terdengar ketukan dari tamu yang tak pernah diundang.

Tok tok tok!

Mak Etik, istri tokoh dusun Bedengan yang sedang ngeloni kedua anaknya itu segera membangunkan suaminya tatkala bunyi ketukan terdengar.

“Pakne, bangun Pakne. Ada orang mengetuk pintu depan. Coba lihat siapa yang tengah malam begini datang ke rumah. Siapa tahu darurat,” katanya seraya mengguncang-guncang pundak suami yang terlentang di sebelahnya.

“Iya, iya, Bune. Aku juga dengar, kok!” sahut sang suami langsung bangkit dari ranjang.

Sambil menahan kantuk yang masih menyerang, lelaki paruh baya itu melangkah ke pintu depan. Klik! Ditekannya saklar lampu yang tertanam di tembok ruang tamu. Sejenak dirapikannya kain sarung yang membungkus badannya sebelum tangannya terulur menarik gerendel pengunci pintu.

Tok tok tok! Ketukan di pintu terdengar lagi. Sepertinya orang yang berada di depan rumah itu sedikit tak sabaran.

“Iya, sebentar!” Lelaki itu berteriak sambil menguap panjang.

Kriieett!

Dengan gerakan yang teramat malas, perlahan ditariknya daun pintu hingga terbuka seperempat bagian.

“Siapa di luar?” tanya Pak Riyanto sambil melongokkan kepala.

Sepi! Tidak ada siapa-siapa di depan rumahnya. Yang terlihat hanya jalan membentang yang sedang diselimuti kegelapan. Rumah-rumah tetangga terdekat semua juga masih terkunci rapat.

Dengan bulu kuduk yang mulai meremang dan berdiri perlahan, Pak Riyanto memberanikan diri mengedarkan pandangan. Hawa dingin yang bertiup dari arah tanjakan Kenaren kian mempertebal perasaan takut yang menggumpal.

“Hiiiih!”

Lelaki itu bergidik ngeri. Buru-buru ia tutup dan kunci pintu lagi kemudian bergegas kembali ke kamar sang istri.

“Siapa Pakne yang datang?” tanya Bu Etik sewaktu suaminya mulai berbaring lagi di sisinya.

“Nggak ada siapa-siapa, Bune,” jawab Pak Riyanto lirih. Seolah ia takut jika suaranya terdengar oleh bangsa lelembut yang sedang menyamar.

“Atau jangan-jangan ….” Bu Etik tak berani meneruskan kalimatnya. Ia takut dengan bayangan gelap yang tiba-tiba melintas di benaknya. Kejadian kelam yang pernah terjadi di masa silam serta merta mengusik pikirannya.

“Sudahlah Bune, jangan diteruskan. Kita tidur lagi saja. Semoga tidak terjadi apa-apa pada kampung kita ini.” Pak Riyanto kembali membungkus tubuhnya ke dalam sarung.

Tanpa menyahut, tangan istrinya kembali mendekap sang buah hati. Bilur-bilur ketakutan mulai merayapi dinding hati.

Apa yang dialami oleh Pak Riyanto itu, ternyata juga dialami oleh warga dusun Bedengan lainnya. Dalam waktu yang bersamaan, hampir seluruh rumah warga dusun Bedengan yang tak lebih dari 23 KK itu, mendapat ketukan gaib di pintu rumahnya. Saat pintu sudah dibukakan, nyatanya tidak ada siapa-siapa yang datang.

Atas kejadian itu, ada dua warga yang sempat pingsan karena diserang ketakutan yang amat dalam.

Lolong anjing hutan yang sedari sore saling bersahutan sepertinya sedang mengabarkan akan adanya kengerian yang mencekam.

 

****

Lihat selengkapnya