SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #23

CAHAYA BULAN YANG TERHALANG

Mata Nadya terpejam rapat. Sebelah tangannya masih terulur menjamah sosok perempuan yang tergelatak di atas tanah berbatu tanjakan Kenaren. Suara permintaan tolong yang menyayat juga masih terdengar di telinganya. Suara itu timbul tenggelam di tengah suara-suara mengerikan yang terlontar dari para penghuni alam kegelapan yang berwujud potongan tangan dan kepala busuk.

Suara-suara itu menggedor-gedor dinding hati Nadya hingga tubuhnya sampai bergetar dengan hebat. Gemuruh di dalam dadanya serasa beradu cepat dengan gemuruh tanah berbatu di tanjakan angker itu.

Melihat begitu banyak potongan tangan dan kepala busuk yang serentak merayap mendekati Nadya, Aki Komar bergegas memusatkan pikiran untuk merapal mantra pengusir setan. Dengan sebelah tangan yang masih memegangi tubuh Nadya supaya tidak tersedot oleh kekuatan setan yang begitu ingin membawa gadis itu, bibir Aki Komar terus komat-kamit dan mata tak berkedip.

Saat tangan-tangan busuk dan kepala-kepala yang nyaris terkelupas kulit dan dagingnya itu kian mendekati Nadya, dengan sekali sentak lelaki tua itu melompat ke atas. Diraihnya tiga lembar daun kluwih yang sudah tua dengan satu sentakan saja. Akibat gerakannya, tubuh Nadya sampai sempat terangkat tiga jengkal dari tempatnya berdiri.

Hap!

Kedua kaki Aki Komar kembali menjejak tanah. Suara-suara ganjil disertai tawa menggidikkan makin keras terdengar.

Oh!

Gendang telinga Aki Komar serasa sedang digedor-gedor suara yang memekakkan. Sehingga konsentrasinya membaca mantra warisan luhur nyaris tergoyahkan. Ditambah lagi gangguan dari kawanan kelelawar yang datang dari lubang-lubang gelap di tebing curam. Kawanan binatang malam itu terbang rendah mengitari tanjakan Kenaren sambil mengeluarkan cicitan aneh.

Aki Komar tak mau menyerah. Meski dengan keringat yang bercucuran, lelaki tua tetap berjuang menyelesaikan rapalan mantranya. Sesekali tiga lembar daun kluwih yang ia genggam erat, ditiup-tiup disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.

Pada tiupan yang ketiga, daun kluwih yang semula biasa-biasa saja, tiba-tiba menjadi berkilauan ketika diterpa sinar bulan yang muncul dari balik awan yang menghalang. Serta merta Aki Komar menarik tubuh Nadya dalam sekali sentakan yang cepat.

Binareng cahya bulan kang aweh pepadhang. Dak suwun pitulungan linuwih saka sing aweh gesang. Sampurnakno sakabehing dedemit kang ngumbroworo. Cinencang ing satengahing geni neroko. Kobong dening pepesti kuasaning gusti. Ambyar teko palilahe sing akaryo bumi. Tumus tumancep ing saindenging sangkan paraning dumadi. Lebur, lebur, lebur dening pangastuti.

Bumi lelayoning pati. Tumungkul pamungkase urip sing nyawiji. Sumebyaring urip awujud lelaku. Piwates pesti tan kena tinulak. Becik ketitik ginurit ing ati wong liyan. Ala ketara bakal njelma dadi pilara. Koyo bulan sing kudu oncat saka tengahe wengi, nalika eseme srengenge tumungkul saka brang wetan. Lebur, lebur, lebur dening pangastuti. Muspro sakabehing godha tanpa ninggal sisa.”

Tepat ketika kilau cahaya bulan yang menerpa permukaan tiga lembar daun kluwih itu terlihat semakin terang, dengan sigap Aki Komar melompat mendekati tubuh perempuan yang masih melolong di tepi tanjakan Kenaren.

Daun pertama ia letakkan di atas kepala perempuan itu. Daun kedua ia tempelkan tepat di atas pusar. Daun ketiga ia letakkan untuk menutupi bagian telapak kakinya.

Wuuusss!

Serta merta angin bertiup kencang. Sesaat angin itu berputar-putar di atas tubuh sosok perempuan yang kini mulai terangkat dari tanah tetap dengan posisi telentang. Makin lama pusaran angin itu semakin cepat hingga tubuh perempuan yang di mata Nadya terlihat sepertri Nuril itu makin membumbung dan akhirnya terlempar ke angkasa hingga lenyap tanpa bekas.

Seiring dengan itu, penampakan centeng-centeng Belanda yang sedang mengawasi para pekerja Rodhi yang tak henti disiksa menggunakan cemeti, perlahan-lahan menjelma menjadi gugusan kabut tipis yang semakin lama makin samar.

Grudug grudug grudug!

Lihat selengkapnya