Pak Jumadi, lelaki 50 tahun yang merupakan paman dari Toni itu berdiri di tikungan jalan kecil yang menuju ke Perkebunan Teh Sirah Kencong. Di balik penampilannya yang sederhana terpancar raut wajah penuh kekawatiran.
Sambil berdiri di bawah sebuah pohon besar berdaun rindang yang berdiri di sisi kanan jalan, mata Pak Jumadi yang beralis tebal menatap tajam ke ujung jalan yang menukik dan berkelok-kelok. Udara pagi hari yang dingin dan berkabut tak ia hiraukan. Keresahan yang memenuhi rongga dada membuatnya tak peduli dengan keadaan alam.
Sesekali lelaki paruh baya itu mengangguk dan tersenyum saat ada pekerja pemetik teh melintas dan menegurnya. Begitu pula ketika ada truk dari arah pabrik yang melintas dan membunyikan klakson sebagai ganti sapaan. Maklum, di wilayah Sirah Kencong ia tergolong orang yang cukup terpandang.
“Mbakyu Surti, tunggu sebentar. Ada yang ingin aku tanyakan, Mbakyu,” seru Pak Jumadi ketika tiga wanita pemetik teh melintas di hadapannya.
Seketika ketiga wanita itu menghentikan langkah. Mereka mengangguk dan tersenyum ramah.
“Ada apa, Pak Jumadi?” Wanita berkebaya hijau lumut yang berdiri di tengah bertanya.
“Mbakyu Surti, rumahnya Bedengan kan?”
Wanita itu mengangguk.
“Ya,” jawabnya singkat.
“Apa di Bedengan ada lima pemuda yang sedang tersesat. Soalnya dua hari yang lalu keponakanku dari Surabaya ngabari kalau berangkat ke sini. Tapi sampai sekarang kok belum datang. Aku takut, jangan-jangan mereka disesatkan oleh penunggu tanjakan Kenaren,” sahut Pak Jumadi dengan rasa was-was.
“Jadi mereka saudara Pak Jumadi, to?”
“Jadi mereka memang masih berada di Bedengan?” Balik tanya Pak Jumadi sedikit merasa lega.
“Iya, Pak. Tapi masalahnya ….”
Belum sempat wanita itu meneruskan ucapannya, Pak Jumadi yang dilanda kekawatiran segera memeotong kalimat.
“Masalahnya apa, Mbakyu?”
Sesaat wanita itu mengedarkan pandangan berkeliling seakan takut jika ucapannya terdengar oleh orang lain.
“Masalahnya mobil mereka memang macet di Kenaren. Dan mereka sekarang justru singgah di Loji Belanda. Hal itu membuat banyak kejadian ganjil yang melanda, Pak.” Lanjut wanita itu dengan suara lirih.
“Astaga! Wah, bahaya ini. Semoga tak terjadi apa-apa pada mereka. Jika demikian, aku harus meminta pertolongan pada Mbah Sengkolo.” Pak Jumadi berkata dengan tarikan napas berat dan dalam.
Mbah Sengkolo adalah orang pintar yang cukup terkenal di lingkungan Sirah Kencong. Lelaki renta itu gemar puasa dan tirakat sehingga mampu berkomunikasi dengan para lelembut. Tak jarang, warga ia sering dimintai bantuan oleh warga sekitar tatkala ada anggota keluarga yang mendapat gangguan jin atau setan. Ilmunya yang waskita benar-benar ia manfaatkan untuk membantu sesama.
“Sebaiknya memang begitu, Pak. Sebelum terlambat.” Kali ini wanita berkaos kuning yang menjawab.
“Baiklah, Pak. Kalau begitu kami berangkat metik dulu, ya.” Mbakyu Surti memecah keheningan yang tercipta sesaat.
“Ya, ya, selamat bekerja. Terima kasih, Mbakyu.”
“Sama-sama, Pak. Permisi …”
“Mari, mari. Silakan.”
Pak Jumadi pun bergegas memutar badan begitu ketiga wanita itu beranjak dari hadapannya. Kabut yang masih menyelimuti pagi diterobosnya dengan perasaan yang tak karuan. Lalaki itu melangkah tergesa-gesa menuruni jalan setapak yang basah dan licin di tengah hamparan kebun teh.