Pak Jumadi menyeruput kopi panas yang baru saja dibikinkan istrinya. Satu takir plontang berisi kembang telon (bunga tiga warna) sudah pula tersedia di meja. Berkat istrinya uborampen itu bisa dengan cepat ia dapatkan. Hanya kurang satu saja, telur ayam cemani. Warga area perkebunan ini satu-satunya yang memelihara ayam cemani hanyalah Pak Badrun. Namun sayang, hari ini tidak ada ayam cemani yang bertelur.
Karuan saja, aroma kopi yang biasanya terasa nikmat tiada tara, sekarang jadi hambar. Seruputan kopi tak mampu mengusir gundah yang bercokol di hati Pak Jumadi. Sesekali lelaki itu menarik napas dalam sekadar untuk melonggarkan perasaan.
“Gimana ini, Pakne? Sekarang sudah hampir jam setengah duabelas tapi kita belum mendapatkan telur ayam cemani tembeyan seperti yang diminta Mbah Sengkolo. Padahal nanti tepat tengah hari uborampe itu sudah harus disajenkan,” keluh istri Pak Jumadi kebingungan.
“Entahlah, Bune. Aku juga sudah gak tahu lagi ke mana harus mencari telur ayam cemani ayam tembeyan. Kan di sini yang punya ayam cemani hanya Kang Badrun.”
“Apa Pakne gak coba nyari di Bedengan sana?” Sang istri duduk seraya menatap takir plontang dengan pandangan gelisah.
“Di sana gak ada yang pelihara ayam cemani.”
“Lha terus ini gimana?”
“Entahlah Bune, aku juga bingung.”
Sejenak suami istri itu terdiam. Pak Jumadi menatap kosong gelas kopinya yang masih tersisa setengah. Asap tipis yang mengepul dari dalam gelas seakan menggambarkan pikirannya yang sedang mengembara tak tentu arah. Sedang istrinya, duduk gelisah seraya menatap bunga tiga warna yang ada dalam takir plontang di hadapannya.
Pikiran tentang keselamatan Toni dam kawan-kawan yang masih diganggu oleh penunggu tanjakan angker Kenaren, semakin mengganggu suasana hatinya. Perlu adanya ritual khusus untuk mengusir para lelembut secara halus.
Mencari telur ayam cemani yang masih tembeyan memang gampang-gampang susah. Semua tergantung pada nasip baik yang menyertai seseorang. Bahkan kadang untuk mendapatkannya justru datang dengan cara-cara yang tak disangka.
Huh!
Pak Jumadi mendesah resah. Waktu yang berjalan teramat cepat memaksa otaknya untuk berpikir lebih cermat. Segala kemungkinan coba ia pertimbangkan untuk mendapatkan hasil yang berbuah kebaikan.
“Bune, sebelum Duhur mungkin sebaiknya aku segera ke rumah Mbah Sengkolo lagi. Semoga beliau memiliki cara untuk memperoleh telur ayam cemani yang belum kita dapatkan,” ujar Pak Jumadi setelah isi gelasnya kosong.
“Iya, Pakne. Semoga saja begitu,” sahut istrinya.
Sebelum Pak Jumadi sempat berdiri dari duduknya, sang istri beranjak ke dapur. Mengambil selembar kain putih seukuran sapu tangan. Dengan cekatan dibungkusnya takir plontang itu menggunakan kain putih yang baru saja diambilnya.
“Ini, Pak,” kata istrinya seraya mengulurkan bungkusan takir plontang itu.
Pak Jumadi menerimanya tanpa berkata-kata. Ia langsung melangkah keluar tanpa mengucapkan kata pamit pada istrinya.
Pak Jumadi melangkah tergesa-gesa menyusuri jalan setapak yang membentang di tengah perkebunan teh. Angin yang bertiup sepoi-sepoi mempermainkan ujung rambut ikalnya yang tergerai.
Tiba di tengah hamparan pohon teh yang luas, matahari yang semula timbul tenggelam di balik awan putih yang berarak pelan, mendadak menghilang tertutup kabut tebal yang dengan cepat mengepung area perkebunan. Serta merta hawa dingin bertiup pelan. Jarak pandang yang terbatas memaksa Pak Jumadi melambatkan langkah.
Sejanak Pak Jumadi menghentikan langkah. Takir plontang terbungkus kafan berisi kembang telon yang diwadahi kantong kain warna hitam, ia dekap ke dada. Pikiran tentang telur ayam cemani tembeyan yang belum ia dapatkan, masih juga mengganggu pikiran. Ia tak tahu lagi, ke mana harus mencari telur langka itu.