SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #27

RITUAL TENGAH HARI

Posisi matahari tepat berada di atas kepala ketika Pak Jumadi dan Mbah Sengkolo berdiri menghadapi sebatang pohon berukuran besar tinggi menjelang. Pada bagian pangkal pohon yang berdiameter lebih dari satu meter, terdapat gambar pocong warna putih seukuran orang dewasa. Pohon itu nampak paling menonjol di antara pohon-pohon lain yang ada di sekitarnya.

Pohon itu berdiri tepat di pojok tikungan tajam dari sebuah jalan alternative yang ada di sisi timur bukit terjal. Hanya para pencari rumput yang biasanya melewati jalan ini. Selain jalannya yang terjal dan berbatu-batu, beberapa tikungan yang meliuk tajam sering mengakibatkan kecelakaan. Ditambah lagi sering muncul binatang buas serta makhluk halus yang suka mengganggu para penunggu jalan. Karena itulah jalur ini selalu sepi.

Pak Jumadi berdiri di sisi timur dari pohon itu. Kedua tangannya ditempelkan erat-erat pada batang pohon. Sedang Mbah Sengkolo berada di sisi utara. Sambil komat-kamit membaca mantra, telapak tangan kirinya yang menempel pada kepala gambar pocong itu sesekali ditepuk-tepukkan dengan ritmis, Sementara tangan kanannya memegang takir plontang yang ia angkat sampai di atas kepala.

Saat sinar matahari yang menerobos dari balik rimbun dedaunan tepat mengenai seluruh isi takir plontang itu, timbullah asap tipis yang mengepul. Takir itu seolah-olah sedang dipanggang di atas bara api.

Seiring gerak bibir Mbah Sengkolo yang semakin cepat, tiba-tiba permukaan takir yang terbuat dari daun pisang dan disandat dengan janur kuning di keempat sudutnya jadi menyala merah membara. Kepulan asap yang ditimbulkan pun jadi semakin tebal adanya.

Perlahan Mbah Sengkolo menurunkan takir plontang itu hingga sejajar dengan dadanya. Dengan perlahan pula bagian atas takir ia tutupi dengan telapak tangan kirinya.

Kini, Mbah Sengkolo mulai duduk bersila. Takir yang masih membara itu ia letakkan di atas pangkuannya. Meski begitu bara dari takir itu tak mampu membakar pakaian yang ia kenakan.

Tanpa berkata-kata, Pak Jumadi mengikuti duduk bersila. Kedua matanya tak pernah lepas dari takir di pangkuan Mbah Sengkolo yang masih membara dan mengepulkan asap putih.

“Wahai sedulur papat lima pancer. Kakang kawah adi ari-ari yang menjaga punjering hari. Tunjukkanlah apa yang sedang terjadi pada keponakan sedulurku Pak Jumadi. Tunjukkan … tunjukkan …!” ujar Mbah Sengkolo sambil menaburkan bunga yang ia ambil dari dalam takir plontang itu.

Bunga yang semula masih nampak segar saat ditaburkan, serta merta hangus menjadi abu saat menyentuh permukaan tanah. Tentu saja Pak Jumadi terperanjat melihatnya. Namun, lelaki itu tak berani berbuat apa-apa. Bahkan berkedip pun tidak.

Kesanehan baru terjadi ketika Mbah Sengkolo memecahkan telur ayam cemani tembeyan pada sebongkah akar yang mencuat dari dalam tanah.

Prak!

Begitu putih dan kuning telur yang telah pecah itu meleleh melumuri akar besar itu, tiba-tiba tubuh Pak Jumadi bergetar hebat. Bola matanya berubah merah semerah darah dan menatap tajam penuh dendam. Bibirnya menyeringai dan menggeram penuh amarah.

“Hai manusia, jangan coba-coba menggangguku! Orang-orang kota itu telah menjadi tawananku. Kau tidak berhak mengusiknya! Pergi! Pergilah!” Suara Pak Jumadi pun berubah menjadi suara nenek-nenek reot yang serak parau.

Sesaat Mbah Sengkolo terkesiap. Namun, lelaki renta itu segera tersadar bahwa ritual tengah hari yang telah dilakukannya sudah mulai bereaksi. Mantra-mantra magis yang dibacanya tadi telah membuka pintu-pintu gaib yang menghubungkan jalan pocong ini dengan tanjakan angker Kenaren.

“Mereka adalah cucu-cucuku. Aku lebih berhak atas diri mereka,” bantah Mbah Sengkolo tanpa rasa gentar.

“Ambil saja mereka jika kau berani melawan para penunggu Kenaren. Ha ha ha ha …!” Sambil tertawa, makhluk yang sedang menguasai jiwa Pak Jumadi itu mengerahkan tenaga dalam untuk melakukan penyerangan.

Demi menyadari bahaya itu, Mbah Sengkolo diam-diam mengambil sisa isi telur yang masih melekat di akar itu. Lantas secepat kilat ia usapkan tangannya yang berlumur telur itu ke kepala Pak Jumadi yang masih menggeram-geram dalam pengaruh penghuni alam kegelapan.

Lihat selengkapnya