Hujan semakin lebat. Angin, kilat, dan guntut berlomba mengusir ketenangan di atas bumi. Curah hujan yang tinggi membuat daun-daun tertunduk lesu lantaran tak kuasa menahan tekanan air yang tak berkesudahan. Akibatnya kabut tebal semakin pekat menyelimuti area perkebunan.
Sisi barat tanjakan Kenaren yang baru saja ambles dengan membawa serta tubuh Nuril, kini tak terlihat lagi akibat kabut tebal yang kian menjadi. Tak urung, warga menunda niat untuk mengadakan pencarian. Murka alam telah menciutkan nyali mereka. Tidak ada lagi yang bisa warga lakukan selain mengurung diri dalam rumah sembari berharap semoga hujan badai segera berhenti.
Demikian pula dengan Toni, Rudi, Dandi, dan Nadya yang sedang numpang berteduh di rumah seorang warga yang rumahnya paling dekat dengan tanjakan Kenaren. Mereka hanya duduk mematung sambil mengkawatirkan keselamatan Nuril yang kini berada di dasar jurang.
Mata keempat remaja itu menatap lurus ke arah jurang sisi barat tanjakan Kenaren yang sekarang tertutup kabut tebal. Pucuk-pucuk pepohonan yang biasanya terlihat menjulang, kini tiada satu pun yang kelihatan. Di segala penjuru yang nampak hanyalah kegelapan yang terguyur hujan.
“Nadya, sekarang saatnya kita selamatkan temanmu yang terbawa ke dasar jurang itu.” Bisikan Aki Komar kepada Nadya yang saat itu sedang memandangi tetes air hujan yang tinggal gerimis kecil-kecil.
Sejenak Nadya mengedarkan pandangan ke jalan tanjakan Kenaren yang porak poranda akibat banyaknya pepohonan tumbang yang membawa serta longsoran tanah tebing yang basah dan licin. Namun sejauh-jauh matanya memandang, sosok Aki Komar yang ia cari tak juga kelihatan.
“Turunlah lekas lewat jalan setapak di sebelah rumah tempat kau berada sekarang. Aku menunggumu di sana.” Suara Aki Komar terdengar kembali.
Perlahan Nadya mengangguk. Tanpa memerdulikan teman-temannya yang masih termangu, serta merta ia bangkit dan berjalan meninggalkan rumah itu.
“Nadya, kau mau ke mana, hah? Cuaca sedang tidak bersahabat, sangat berbahaya jika kau nekad!” teriak Toni yang pertama kali menyadari kepergian Nadya.
Tanpa menghiraukan seruan dan larangan Toni, Nadya terus saja melangkah menuju jalan setapak yang ada di sebelah rumah itu. Hal itu membuat Toni cemas. Cowok itu pun lantas beranjak mengejar langkah Nadya.
Hah! Toni terperangah mendapati jalan setapak yang menuju ke dasar lembah itu terlihat sangat licin. Tanah longsoran yang basah dan berlumpur memenuhi jalan kecil itu. Bahkan air yang berasal dari jalan tempat Toni berpijak juga masih mengalir di jalan setapak itu. Belum lagi adanya banyak batang pepohonan yang melintang tak karuan. Mustahil kiranya untuk dilewati.
Namun anehnya, Nadya dapat melewati jalan itu dengan cepat tanpa terhambat. Bahkan ketika Toni melongok ke bagian bawah dari jalan itu, tubuh Nadya sudah tak terlihat lagi.
“Kok Nadya sudah tak terlihat lagi, ya? Jangan-jangan dia terperosok akibat jalan setapak yang sangat licin itu,” gumam Toni jadi bingung sendiri.
Sambil berpegangan pada sebuah batang pohon tak seberapa besar yang ada di dekatnya, Toni mencoba mencoba melongok lebih ke dalam. Hiii! Ia bergidik ngeri menyaksikan material longsoran yang memenuhi dasar jurang yang masih juga berselimut kabut.
“Loh Ton, mana Nadya?” tanya Rudi yang sudah pula menyusulnya bersama Dandi.
“Nadya ke turun ke dasar jurang,” sahut Toni dengan wajah dipenuhi kecemasan.
“Apa?! Kenapa tidak kau larang?” Rudi ikutan mencari-cari dengan pandangannya yang juga menyiratkan kekawatiran.
“Bagaimana aku bisa mencegahnya. Saat aku sampai di sini, dia sudah tak terlihat lagi. Langkahnya cepat banget.”
“Tapi jalan setapak ini tampaknya sangat licin, mana mungkin dia bisa berjalan secepat itu.” Rudy serasa tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Justru itu yang membuatku bingung.”
Sampai di situ perdebatan kecil itu harus terhenti, Pak Jumadi dan Mbah Sengkolo datang bersama beberapa orang warga.